Friday, January 30, 2015

Inferno Bab 41 (terjemahan Indonesia)



BAB 41

JAHITAN DI kulit kepala Langdon berdenyut kembali saat dia dan Sienna berdesakan di dalam ruang video kontrol dengan Marta dan kedua penjaga. Ruangan yang terbatas tak lebih dari ruangan pesta yang dipenuhi tumpukan hard drive dan monitor komputer. Udara di dalam sana panas dan pengap serta tercium aroma asap rokok.
Langdon merasa dinding-dinding di sekelilingnya mendadak tertutup.
Marta duduk di depan monitor video, yang telah dalam mode playback dan menampilkan gambar hitam-putih kabur dari andito, diambil dari atas pintu. Waktu yang tercetak di layar mengindikasikan bahwa rekaman telah diset pada kemarin pagi – tepatnya 24 jam yang lalu – nyata sekali sebelum museum dibuka dan masih lama sebelum kedatangan Langdon dan il Duomino yang misterius malam itu.
Salah satu penjaga mempercepat video, dan Langdon melihat gelombang wisatawan mengalir cepat ke dalam andito, bergerak dalam gerakan tersentak-sentak yang cepat. Topengnya sendiri tidak terlihat dari sudut pandang ini, tapi jelas masih di dalam kotak pajangannya saat beberapa wisatawan berhenti untuk mengintip ke dalam atau mengambil foto sebelum melanjutkan perjalanan.
Cepatlah, pikir Langdon, mengetahui bahwa polisi sedang dalam perjalanan. Dia bertanya-tanya apakah dia dan Sienna perlu minta diri dan lari, tapi mereka perlu melihat video ini: apapun yang ada dalam rekaman ini akan menjawab banyak pertanyaan tentang apa yang sedang terjadi.
Video berlanjut, sekarang lebih cepat, dan bayangan sore mulai bergerak melintasi ruangan. Wisatawan masuk dan keluar hingga akhirnya kerumunan mulai menipis, dan kemudian mendadak hilang seluruhnya. Saat waktu yang tercetak melewati 1700 jam, lampu museum padam dan semuanya senyap.
Pukul 17.00. Waktu tutup.
“Aumenti la velocita,” perintah Marta, mencondongkan tubuhnya di kursi dan menatap layar.
Penjaga itu mempercepat video, waktunya tercetak cepat, hingga tiba-tiba, sekitar jam 10 malam, cahaya lampu di museum berkedip menyala kembali.
Penjaga itu segera melambatkannya dalam kecepatan biasa.
Sesaat kemudian, sosok hamil Marta Alvarez terlihat dalam pandangan. Dia diikuti oleh Langdon, yang masuk dengan mengenakan jas Harris Tweed Camberley, celana khaki ketat, dan sepatu cordovan miliknya. Dia bahkan melihat kilatan arloji Mickey Mouse mengintip dari bawah lengan bajunya saat dia berjalan.
Di sanalah aku … sebelum tertembak.
Langdon merasa tidak nyaman melihat dirinya sendiri melakukan sesuatu yang sama sekali tidak diingatnya. Tadi malam aku di sini … melihat topeng kematian? Entah bagaimana, antara kemudian dan sekarang, dia kehilangan bajunya, arloji Mickey Mouse miliknya, dan dua hari kehidupannya.
Saat video tersebut berlanjut, dia dan Sienna merapat di belakang Marta dan para penjaga untuk melihat lebih jelas. Rekaman bisu itu berlanjut, memperlihatkan Langdon dan Marta tiba di kotak pajangan dan mengagumi topeg itu. Saat mereka melakukan itu, bayangan besar menggelapkan pintu di belakang mereka, dan seorang pria obesitas yang sakit-sakitan menyeret kakinya ke dalam frame. Dia mengenakan setelan warna sawo matang, membawa sebuah tas jinjing, dan hampir tidak muat melalui pintu. Perutnya yang besar bahkan membuat Marta yang sedang hamil terlihat ramping.
Langdon langsung dapat mengenali lelaki itu. Ignazio?!
“Itu Ignazio Busoni,” Langdon berbisik di telinga Sienna. “Direktur Museo dell’Opera del Duomo. Kenalanku semenjak beberapa tahun yang lalu. Aku hanya tidak pernah mendengarnya dipanggil il Duomino.”
“Julukan yang tepat,” jawab Sienna perlahan.
Beberapa tahun yang lalu, Langdon berkonsultasi dengan Ignazio tentang artefak dan sejarah yang berkaitan dengan Il Duomo – basilika yang menjadi tanggung jawabnya – tapi sebuah kunjungan ke Palazzo Vecchio sama sekali di luar ranah Ignazio. Kemudian lagi, Ignazio Busoni, selain sebagai sosok yang berpengaruh dalam dunia seni Florence, juga cendekiawan dan penggemar Dante.
Sumber informasi yang logis bagi topeng kematian Dante.
Saat Langdon mengembalikan perhatiannya ke video, Marta sekarang terlihat menunggu dengan sabar, bersandar di dinding belakang andito ketika Langdon dan Ignazio mencondongkan diri melewati pagar pengaman untuk mendapatkan pandangan sedekat mungkin dengan topeng. Saat kedua lelaki itu meneruskan pemeriksaan dan diskusinya, menit-menit terus berlalu, dan Marta dapat terlihat mengecek arlojinya dengan hati-hati di belakang mereka.
Langdon berharap rekaman keamanan itu ada suaranya. Apa yang sedang Ignazio dan aku bicarakan? Apa yang sedang kita cari?!
Lalu, di layar, Langdon melangkah melalui pagar pengaman dan merangkak langsung ke depan kabinet, mukanya hanya beberapa inci dari kaca. Marta tiba-tiba turut campur tangan, jelas sekali menegurnya, dan Langdon dengan menyesal melangkah mundur.
“Maaf jika aku terlalu keras,” ujar Marta, menatap melalui bahunya. “tapi sudah aku bilang, kotak pajangan itu antik dan sangat rapuh. Pemilik topeng itu menginginkan kami menjaga orang-orang untuk tetap di belakang pagar pengaman. Dia tidak akan pernah mengijinkan staff kita untuk membuka kotak tanpa kehadirannya.”
Kata-katanya memerlukan sedikit waktu untuk dicerna. Pemilik topeng? Langdon mengira topeng itu merupakan properti museum.
Sienna terlihat sama terkejutnya dan segera berseru. “Museum  tidak memiliki topeng itu?”
Marta menggelengkan kepalanya, matanya kembali ke layar monitor. “Seorang pelanggan yang sangat kaya menawarkan diri untuk membeli topeng kematian Dante dari koleksi kami dan meninggalkannya untuk dipajang secara permanen di sini. Dia menawarkan suatu keberuntungan kecil, dan dengan senang hati kami menerimanya.”
“Tunggu,” ucap Sienna. “Dia membayar topeng itu … dan membiarkanmu menyimpannya?”
“Rencana yang umum,” kata Langdon. “Akuisisi filantropis – suatu cara bagi penyumbang untuk memberi hibah yang besar tanpa mendaftarkan pemberian itu sebagai suatu donasi amal.”
“Penyumbangnya adalah seseorang yang tidak biasa,” ujar Marta. “Seorang cendekiawan asli Dante, dan sedikit … bagaimana kamu mengatakannya … fanatico?”
“Siapa dia?” tuntut Sienna, nada bicaranya yang santai terikat dengan suatu desakan.
“Siapa?” Marta mengernyitkan dahi, masih menatap layar. “Yah, kamu mungkin baru saja membaca tentangnya di berita – milyarder Swiss Bertrand Zobrist?”
Bagi  Langdon nama itu agak tidak familiar, tapi Sienna mencengkeram lengan Langdon dan meremasnya kuat, terlihat seolah-olah dia baru saja melihat hantu.
“Oh, ya …” ucap Sienna perlahan-lahan, wajahnya pucat pasi. “Bertrand Zobrist. Ahli biokimia terkenal. Membuat sebuah keberuntungan dalam mendapatkan hak paten biologi saat usianya masih muda.” Dia berhenti, menghembuskan nafas berat. Mencondongkan tubuhnya dan berbisik pada Langdon. “Zobrist pada dasarnya menciptakan lahan manipulasi bakteri.”
Langdon tidak tahu apa itu manipulasi bakteri, tapi itu mempunyai kaitan yang berbahaya, terutama dalam paparan gambar yang belakangan ini melibatkan wabah dan kematian. Dia bertanya-bertanya apakah Sienna tahu begitu banyak tentang Zobrist karena pembaca yang baik pada bidang kedokteran … atau mungkinkah karena mereka berdua sama-sama anak muda berbakat. Apakah para ilmuwan saling mengikuti karya ilmuwan yang lain?
“Aku pertama kali mendengar tentang Zobrist beberapa tahun yang lalu,” jelas Sienna, “ketika dia membuat beberapa deklarasi yang sangat provokatif di media tentang pertumbuhan populasi.” Dia diam sejenak, mukanya muram. “Zobrist adalah pendukung Persamaan Bencana Populasi.”
“Maaf?”
“Intinya itu merupakan sebuah pengenalan matematis bahwa populasi bumi meningkat, orang-orang hidup lebih lama, dan sumber daya alam kita semakin menyusut. Persamaan itu memprediksikan bahwa tren yang sedang berlangsung tidak menghasilkan apapun selain bencana berupa kebobrokan masyarakat. Zobrist secara publis memprediksikan bahwa ras manusia tidak akan bertahan di abad berikutnya … kecuali kita mempunyai beberapa jenis acara pemusnahan massal.” Sienna menghela nafas berat dan menatap mata Langdon. “Faktanya, Zobrist pernah mengatakan bahwa ‘hal terbaik yang pernah terjadi di Eropa adalah Kematian Hitam.’ ”
Langdon menatapnya dengan terkejut. Bulu kuduknya meremang saat, sekali lagi, gambaran topeng wabah berkilas di benaknya. Dia telah berusaha sepanjang pagi untuk melawan perasaan bahwa dilemanya saat ini berkaitan dengan sebuah wabah mematikan … tapi perasaan itu semakin sulit untuk dibantah.
Dengan Bertrand Zobrist mendeskripsikan Kematian Hitam sebagai hal terbaik yang pernah terjadi di Eropa sangatlah mengerikan, dan Langdon tahu bahwa banyak sejarawan mencatat keuntungan sosio-ekonomi jangka panjang dari pemusnahan massal yang berlangsung di Eropa pada tahun 1300an. Wabah yang sebelumnya, populasi berlebih, kelaparan, dan kesulitan ekonomi telah mendefinisikan Zaman Kegelapan. Kedatangan seketika Kematian Hitam, selain mengerikan, secara efektif telah “menipiskan gerombolan manusia,” menghasilkan makanan dan peluang yang melimpah, yang menurut banyak sejarawan, menjadi katalisator utama ke masa Renaissance.
Saat Langdon menangkap simbol biohazard di tabung berisi peta inferno Dante yang dimodifikasi, pikiran dingin menghantamnya: proyektor kecil yang seram telah dibuat oleh seseorang … dan Bertrand Zobrist – biokimiawan dan fanatik Dante – sekarang menjadi kandidat yang logis.
Bapak manipulasi genetik bakteri. Langdon merasakan kepingan puzzle sekarang jatuh pada tempatnya. Sayangnya, gambar yang semakin jelas terasa semakin menakutkan.
“Percepat bagian ini,” Marta memerintah penjaga itu, terdengar ingin sekali melewati tayangan Langdon dan Ignazio Busoni mempelajari topeng sehingga dia dapat menemukan siapa yang telah masuk ke dalam museum dan mencurinya.
Penjaga menekan tombol pemercepat, dan waktu yang tercetak berakselerasi.
Tiga menit … enam menit … delapan menit.
Di layar, Marta dapat terlihat berdiri di belakang kedua lelaki itu, berdiri gelisah dan berulang kali melihat arlojinya.
“Maaf jika kami berbicara terlalu lama,” ucap Langdon. “Kamu terlihat tidak nyaman.”
“Salahku sendiri,” jawab Marta. “Kalian berdua mendesak aku untuk pulang dan biar penjaga yang membawa kalian keluar, tapi aku rasa itu akan sangat kejam.”
Tiba-tiba, di layar, Marta menghilang. Penjaga memperlambat video ke kecepatan normal.
“Tidak apa-apa,” ucap Marta. “Aku ingat pergi ke toilet.”
Penjaga itu mengangguk dan meraih tombol pemercepat kembali, tapi sebelum dia menekannya, Marta meraih lengannya. “Aspetti!”
Dia memiringkan kepalanya dan menatap monitor dengan kebingungan.
Langdon juga melihatnya. Apa-apan ini?!
Di layar, Langdon meraih saku jas tweed-nya dan mengeluarkan sepasang sarung tangan operasi, yang sekarang ditariknya ke tangannya.
Pada saat yang bersamaan, il Duomino memposisikan dirinya di belakang Langdon, mengintai lorong di mana Marta tadi sempoyongan menuju toilet. Setelah beberapa saat, lelaki gemuk itu mengangguk pada Langdon sebagai tanda bahwa sisi itu aman.
Apa yang kami lakukan?!
Langdon melihat dirinya di video saat tangan bersarungnya menjangkau dan menemukan sisi pintu kabinet … dan kemudian, menarik dengan begitu hati-hati hingga engsel antik terangkat dan pintunya mengayun terbuka dengan pelan … menampilkan topeng kematian Dante.
Marta Alvarez tercekat ngeri dan membawa tangannya ke wajahnya.
Dalam kengerian Marta, Langdon melihat dirinya dalam ketidakpercayaan mutlak saat dia meraih ke dalam kotak, dengan hati-hati menggenggam topeng kematian Dante dengan kedua tangan, dan mengangkatnya keluar.
“Dio mi salvi!” Marta meledak-ledak, menahan diri dan berbalik menghadap Langdon. “Cos’ha fatto? Perche?”
Sebelum Langdon dapat merespon, salah satu penjaga mengeluarkan sebuah Beretta hitam dan mengarahkannya langsung ke dada Langdon.
Jesus!
Robert Langdon melirik laras pistol penjaga itu dan merasa ruangan yang kecil menutup di sekelilingnya.
Marta Alvarez sekarang berdiri, menatap tajam padanya dengan wajah yang tidak percaya akan pengkhianatan. Di monitor keamanan di belakangnya, Langdon mengangkat topeng itu ke arah cahaya dan mempelajarinya.
“Aku hanya mengeluarkannya sebentar,” desak Langdon, berdoa semoga itu benar. “Ignazio meyakinkanku jika kamu tidak akan mempermasalahkannya!”
Marta tidak menjawab. Dia terlihat linglung, terlihat berusaha membayangkan kenapa Langdon telah berbohong padanya … dan bagaimana bisa Langdon bisa berdiri tenang dan membiarkan rekaman itu diputar ketika dia tahu apa yang akan tersingkap.
Aku tidak tahu aku membuka kotak itu!
“Robert,” bisik Sienna. “Lihat! Kamu menemukan sesuatu!” Sienna masih terpaku pada tayangan ulang, terfokus untuk mendapatkan jawaban dengan mengesampingkan situasi sulit mereka.
Di layar, Langdon mengangkat topeng dan menyudutkannya ke arah cahaya, perhatiannya rupanya tertarik pada sesuatu yang menarik pada bagian belakang artefak.
Dari sudut kamera ini, untuk beberapa detik, topeng yang terangkat menutupi sebagian muka Langdon sedemikian rupa sehingga mata mati Dante sejajar dengan mata Langdon. Langdon teringat pada suatu pernyataan – kebenaran dapat terlihat hanya melalui mata kematian – dan dia merinding.
Langdon tak habis pikir apa yang mungkin dia periksa di bagian belakang  topeng, tapi waktu itu di video, saat dia membagikan penemuannya dengan Ignazio, pria gendut itu berbalik, dengan segera meraba jika ada yang melihat dan melihat lagi … dan lagi. Dia mulai menggoyangkan kepalanya dengan mantap dan mondar-mandir di andito dalam situasi yang terguncang.
Tiba-tiba kedua lelaki itu mendongak, jelas telah mendengar sesuatu di lorong – rupanya Marta telah kembali dari toilet. Dengan segera, Langdon mengambil sebuah tas Ziploc besar dari kantongnya, menyegel topeng kematian di dalamnya sebelum menyerahkannya dengan hati-hati pada Ignazio, yang menempatkannya dengan segan di dalam tas jinjingnya. Dengan cepat Langdon menutup pintu kaca antik pada kotak pajangan yang sekarang kosong, dan kedua pria itu bergegas ke hall untuk menjumpai Marta sebelum dia dapat menemukan pencurian mereka.
Kedua penjaga sekarang menodongkan pistolnya pada Langdon.
Marta limbung, meraih meja untuk menyokong tubuhnya. “Aku tidak paham!” dia tertegun. “Kamu dan Ignazio Busoni mencuri topeng kematian Dante?!”
“Tidak!” Langdon bersikeras, membual sebisa mungkin. “Kami mendapatkan izin dari pemiliknya untuk membawa topeng itu keluar dari bangunan malam itu.”
“Izin dari pemiliknya?” tanyanya. “Dari Bertrand Zobrist?!”
“Ya! Mr. Zobrist setuju jika kami memeriksa beberapa tanda di bagian belakang! Kami menemuinya kemarin sore!”
Mata Marta menatap tajam. “Professor, saya sangat yakin kamu tidak bertemu dengan Bertrand Zobrist kemarin sore.”
“Tentu saja kami bertemu–”
Sienna menahan lengan Langdon. “Robert …” Dia mendesah muram. “Enam hari lalu, Bertrand Zobrist menerjunkan dirinya dari puncak menara Badia hanya beberapa blok dari sini.”

Monday, January 12, 2015

Inferno Bab 40 (terjemahan Indonesia)



BAB 40

MARTA ALVAREZ GEMETAR di depan kabinet pajangan yang kosong. Dia berharap rasa sesak yang menyebar melalui perutnya adalah karena panik dan bukan rasa sakit menjelang melahirkan.
Topeng kematian Dante hilang!
Dua penjaga keamanan sekarang waspada penuh, setibanya di andito, melihat kotak yang kosong, dan melompat beraksi. Salah satunya langsung menuju ruang kontrol video terdekat untuk mengakses rekaman kamera keamanan semenjak tadi malam, sementara yang seorang lagi baru saja selesai melaporkan pencurian pada polisi melalui telepon.
“La polizia arrivera tra venti minuti!” penjaga itu memberitahu Marta saat dia menutup teleponnya.
“Venti minuti?!” tuntut Marta. Dua puluh menit?! “Kita menghadapi pencurian karya seni besar!”
Penjaga tersebut menjelaskan bahwa dia diberitahu bahwa sebagian besar polisi kota sedang menangani krisis yang jauh lebih serius dan mereka berusaha untuk menemukan agen yang bisa untuk datang dan memberi pernyataan.
“Che cosa portrebbe esserci di piu grave?!” Marta meracau. Apa yang bisa menjadi lebih serius?!
Langdon dan Sienna saling menatap resah, dan Marta merasakan bahwa kedua tamunya sedang menahan beban sensorik yang terlalu berat. Tidak mengejutkan. Baru saja berhenti untuk melihat sekilas pada topeng itu, mereka sekarang menjadi saksi mata, konsekuensi dari pencurian karya seni besar. Tadi malam, entah bagaimana, seseorang mendapatkan akses ke galeri dan mencuri topeng kematian Dante.
Marta tahu ada jeuh lebih banyak benda berharga di museum yang bisa dicuri, jadi dia berusaha bergantung pada rejekinya. Meskipun demikian, ini merupakan pencurian pertama dalam sejarah museum ini. Aku bahkan tidak tahu protokolnya!
Marta tiba-tiba merasa lemas, dan dia kembali meraih salah satu pembatas untuk menyokongnya.
Kedua penjaga galeri muncul dengan kebingungan saat mereka menceritakan kembali pada Marta aksi dan kejadian sebenarnya tadi malam. Sekitar pukul sepuluh malam, Marta masuk dengan il Duomino dan Langdon. Beberapa saat kemudian, ketiganya keluar bersamaan. Penjaga mengunci ulang pintu, menyetel ulang alarm, dan sejauh yang mereka tahu, tak seorangpun masuk atau keluar galeri semenjak itu.
“Mustahil!” Marta memaki dalam bahasa Italia. “Topeng itu ada di kabinet ketika kami bertiga meninggalkannya tadi malam, pastinya seseorang berada di dalam galeri setelah itu!”
Penjaga itu menunjukkan telapak tangannya, terlihat bingung. “Noi non abbiamo visto nessuno!”
Sekarang, dengan polisi sedang dalam perjalanan, Marta bergerak secepat yang diijinkan oleh tubuh hamilnya ke arah ruang kontrol keamanan. Langdon dan Sienna semakin gugup di belakangnya.
Video keamanan, pikir Marta. Itu akan menunjukkan pada kita lebih tepatnya siapa yang berada di sini tadi malam!


Tiga blok dari sana, di Ponte Vecchio, Vayentha bergerak menuju bayangan saat sepasang petugas polisi menyeruak melalui kerumunan, mengkanvas (atau apa istilahnya ya?? –penj.) area dengan foto Langdon.
Saat petugas itu mendekati Vayentha, salah satu radio mereka berbunyi – berita laporan rutin bagi semua unit. Pengumumannya singkat dan dalam bahasa Italia, tapi Vayentha menangkap intinya: Setiap petugas yang ada di area Palazzo Vecchio harus melapor untuk mengambil pernyataan di museum palazzo.
Petugas itu menjawab refleks, tapi Vayentha mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Il Museo di Palazzo Vecchio?
Kegagalan besar tadi malam – kegagalan besar yang merusak karirnya – berlangsung di lorong kecil di luar Palazzo Vecchio.
Laporan polisi itu berlanjut, dalam bahasa Italia yang statis yang sebagian besar tidak dapat dipahami, kecuali dua kata yang terdengar jelas: Dante Alighieri.
Tubuh Vayentha menegang seketika. Dante Alighieri?! Tentunya ini bukanlah kebetulan. Dia berputar ke arah Palazzo Vecchio dan menangkap sebuah menara di puncak atap bangunan terdekat.
Apa yang sebenarnya terjadi di museum? Tanyanya. Dan kapan?!
Mengesampingkan hal-hal khusus, Vayentha telah menjadi analis lapangan cukup lama untuk tahu bahwa “kebetulan” merupakan  hal yang tidak umum daripada yang kebanyakan orang pikirkan. Museum Palazzo Vecchio … DAN Dante? Ini tentunya berkaitan dengan Langdon.
Vayentha sudah menduga bahwa Langdon akan kembali ke kota tua. Hanya terasa – kota  tua adalah tempat Langdon berada tadi malam ketika semuanya mulai menjadi tak terselesaikan.
Sekarang, dalam cahata siang, Vayentha bertanya-tanya jika Langdon entah bagaimana kembali ke area sekitar Palazzo Vecchio untuk menemukan apapun yang sedang dia cari. Dia yakin Langdon tidak menyebarang jembatan ini menuju kota tua. Banyak jembatan lain, dan tampaknnya lebih jauh jika berjalan dari Taman Boboli.
Di bawahnya, dia memperhatikan empat orang dengan mantel regu dayung meluncur melalui air dan melintas di bawah jembatan. Tertulis SOCIETA CANOT-TIERI FIRENZE / KLUB MENDAYUNG FLORENCE di lambung kapalnya. Warna mantel yang merah menyolok – dan – dayung berwarna putih berpadu dalam kesatuan yang sempurna.
Apa Langdon mengambil sebuah perahu untuk menyeberang? Tampak mustahil dan sesuatu memberitahunya, laporan polisi mengenai Palazzo Vecchio merupakan sebuah isyarat yang semestinya dia perhatikan.
“Tidak ada kamera, per favore!” seorang wanita memanggil dalam bahasa inggris beraksen.
Vayentha berbalik dan melihat pom-pom jingga berumbai berkibar di sebuah tongkat saat seorang pemandu wisata wanita berusaha menggiring sekelompok barisan wisatawan melintasi Ponte Vecchio.
“Di atas kalian adalah mahakarya terbesar Vasari!” pemandu itu berteriak dengan antusiasme yang terlatih, mengangkat pom-pomnya ke udara dan mengarahkan pandangan setiap orang ke atas.
Vayentha tidak memperhatikannya sebelumnya, tapi di sana terdapat struktur lantai dua yang melintang di atas pertokoan seperti sebuah apartemen kecil.
“Koridor Vasari,” pemandu itu mengumumkan. “Sepanjang hampir satu kilometer dan menyediakan jalur aman bagi keluarga Medici antara Pitti Palace dan Palazzo Vechio.”
Mata Vayentha terbelalak saat dia menyadari struktur serupa terowongan di atasnya. Dia pernah mendengar tentang koridor itu, tapi hanya tahu sangat sedikit tentangnya.
Itu mengarah ke Palazzo Vecchio?
“Bagi mereka dengan koneksi VIP, yang hanya sedikit jumlahnya,” pemandu itu melanjutkan, “mereka dapat mengakses koridor bahkan sampai sekarang. Itu merupakan sebuah galeri seni yang menakjubkan yang membentang sepanjang Palazzo Vecchio ke sudut timur laut Taman Boboli.”
Apapun yang dikatakan oleh pemandu wisata itu selanjutnya, Vayentha tidak mendengar.
Dia telah berlari ke sepeda motornya.

Friday, January 9, 2015

The Mellified Man (Manusia Permen) by John F.D. Taff



John F.D. Taff

The Mellified Man (Manusia Permen)

Permen termanis macam apa yang pernah kalian makan?
Aku tidak akan mengatakannya padamu, tapi akan kuberitahukan permen termanis yang pernah kubuat, permen yang paling mengerikan.

Ini semua berkat kebiasaan Bobby memakan makanan yang manis.

Sebuah ratapan permintaan maaf dari semua orang yang teserang diabetes, orang yang kelebihan berat badan, anak kecil dengan bentuk tubuh jelek yang menyembunyikan permen di balik lemari celana dalamnya.

Permen merupakan roti dan penyangga hidupnya. Menikmati es krim saat makan siang merupakan hal yang lumrah baginya, daripada memakan santapan makan siang biasa, atau memakan kue saat makan malam.

Namun dia tidaklah gendut atau berbadan besar, seperti sebutan ibunya untuk kakaknya. Dia tidak terkena diabetes, dan giginya terlihat sangat bagus untuk ukuran pria yang berumur 31 tahun. Bobby Jenkins, pada kenyataannya, merupakan manusia yang paling dekat dengan istilah sempurna. Kecuali, tentu saja, kebiasaannya memakan makanan yang manis dan fakta bahwa dia lebih menyukai laki-laki daripada perempuan; hanya itulah kekurangannya.



Dia sering berenang, berolahraga, bermain bola tangan dan bola raket di klub, dan berjalan di atas treadmill. Dia tidak merokok, minum, atau memakan banyak daging.

Ahh, namun gula pasir merupakan heroin, kokain, dan obat methamphetamine yang dicampur menjadi satu baginya.

Dan seperti pecandu-pecandu lainnya, dia segan untuk berhenti mengonsumsinya.
Dan seperti pecandu-pecandu lainnya, hidupnya didominasi oleh hal itu.
Dan seperti pecandu-pecandu lainnya pula, hidupnya pun akan diakhiri oleh itu.

***

Bobby sedang menikmati makan siangnya sambil membaca dengan tekun koran yang menyajikan berita tentang merger bisnis yang sedang dikerjakannya. Saat itulah dia mendengar nama The Alhambra, sebuah toko permen yang baru dibuka di kotanya. Karena tempatnya dekat, dia memutuskan untuk mengunjungi tempat tersebut.

Toko tersebut sangat besar dan bangunannya memperlihatkan susunan batu bata merah, berlantai tiga, dan meliputi keseluruhan blok kota. Bagian depan lantai satu dijajari dengan jendela kaca yang memperlihatkan pajangan di dalamnya. Papan namanya pun dibuat dengan sangat bergaya.

Bobby memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam toko. Di luar udara terasa sangat panas, namun di dalam udaranya sejuk.

Baru dua langkah dari pintu masuk, Bobby langsung terpukau. Dia telah menemukan surganya.

Bagian dalam toko tersebut didominasi oleh warna gelap yang menyelimuti hampir seluruh bagian dinding. Wallpaper dengan desain Moor berbalut warna merah dan emas terhampar dari permukaan sampai ke atapnya. Pajangan dan kotak wadah diterangi oleh lampu gantung. Kain sutera menyelimuti atapnya—lagi-lagi berwarna merah dan emas, namun juga terdapat sedikit warna biru tua, hijau, dan ungu kehitaman.

Namun koleksi permen-nya lah yang menarik perhatian Bobby.

Di salah satu sisi ruang yang panjang dan sempit di sana terdapat semua jenis kembang gula dan permen; licorice dan lollipop, permen karet dan permen tangkai diletakkan di sebuah toples; bola popcorn dan permen apel, jelly beans dan semua jenis permen penny. Di sana bahkan ada bagian yang memajang segala jenis permen yang dapat kalian temukan di toko swalayan atau pom bensin.

Di tengah ruangan, di mana Bobby berdiri sambil ternganga, terdapat segala jenis coklat dengan bermacam-macam bentuk dan warna. Di dekatnya ada coklat-coklat batang yang tidak terbungkus, ditumpuk seperti batangan-batangan emas. Ada pula berikat-ikat coklat yang sangat hitam seolah baru saja diambil dari bahan dasar yang membuat malam. Aroma coklatnya saja sudah sangat memabukkan.

Di sisi lain toko tersebut terdapat permen yang tidak biasa. Di sana terdapat permen pastill dari Prancis, permen beras Botan dari Jepang, permen maple dari Kanada, bahkan sekotak besar coklat yang dibalut ulat, jangkrik, dan telur serangga dari Meksiko, dan semacam permen ikan kering dari Norwegia.

“Ahhh, Anda terlihat sangat terpesona.” Datanglah sebuah suara, dengan nada baritone dan aksen yang kabur. “Saya sendiri juga terpesona… dan saya-lah pemilik tempat ini.”

Bobby berpaling dan melihat seorang pria yang mungkin keturunan Spanyol atau Arab. Dia lebih pendek dari Bobby, dengan wajah yang seolah dipahat dari kayu hitam di ruangan tersebut. Umurnya mungkin sekitar 45 atau 55; sulit untuk memastikannya. Sebuah kumis yang sangat indah bertengger di bawah bibirnya dan rambutnya pun sama saja, dengan sedikit uban di sana-sini.

“Anda sepertinya… orang yang sangat beruntung di kota ini.” Ujar Bobby yang masih terlihat tidak sadarkan diri.

Pria itu lalu tertawa, sebuah ledakan tawa yang membahana ke seluruh ruangan, dan menarik perhatian dari pelanggan yang lain.

“Saya tahu kalau kita sama ketika Anda pertama kali masuk tadi,” kekehnya. Kata-kata tersebut dan caranya tertawa yang menarik perhatian membuat Bobby sedikit merinding.

“Nama saya Afaz Aziz. Pemilik The Alhambra. Ayo kemari, apa yang dapat aku perlihatkan kepadamu?” Tanyanya. “Atau lebih tepatnya, apa yang dapat kuberikan padamu?”

Mr. Aziz mengatakan ini dengan gaya seorang penjual narkoba; dan seperti pecandu obat-obatan lainnya, Bobby mengikutinya.

***

Sekantong permen yang dibelinya di The Alhambra siang itu langsung dihabiskannya dalam waktu singkat. Empat hari kemudian dia mengunjungi The Alhambra lagi, kemudian keluar dengan sekantong permen. Dia tidak ingin mengakuinya, namun dia selalu ingin bertemu Mr. Aziz untuk memuaskan kebiasaannya.

Minggu demi minggu Bobby mengunjungi The Alhambra; kadang-kadang hanya dua kali, terkadang tiga kali seminggu. Setiap kali datang, Aziz menyambutnya dengan hangat seolah dia memang telah menunggunya.

Tapi Bobby tidak tahu… tidak tahu pasti apakah Aziz tertarik padanya… paling tidak, tidak seperti itu. Pria itu suka menyentuhnya, terkadang lengannya, bahunya, menepuk wajahnya, terkadang menggandengnya seperti anak kecil.

Tidak ada satu hal-pun yang terbersit dalam pikirannya akan hal ini. Dan dia selalu pulang membawa sesuatu.

***

“Jadi, apa yang Anda cari hari ini?” Tanya Aziz saat mereka bertemu beberapa minggu kemudian. “Coklat dari Madagaskar, mungkin? Hmmm, atau macadamia dari Hawai? Tidak, hmmm… apa ya…”

“Aku ingin sesuatu yang berbeda” Ungkap Bobby yang telah berusaha sangat keras agar tidak terdengar seperti ajakan untuk bercinta.

Aziz memicingkan matanya, dan selama beberapa saat, Bobby merasa dirinya telah membuat kesalahan besar, atau salah sangka terhadap pria itu.

Namun Aziz mengangguk, kemudian membulatkan bibirnya. “Baiklah, mungkin kami dapat memberikannya padamu.”

Kemudian Aziz mengambil tangannya dan membawanya masuk melewati tirai ungu yang sewarna dengan lautan kelam. Di balik tirai, setelah melewati lorong yang dipenuhi kardus dan kotak kosong, mereka sampai di depan sebuah pintu. Aziz, masih menggenggam tangan Bobby (yang sedikit khawatir karena basah oleh keringat), mengeluarkan kunci berornamen tulang dari saku jaketnya, lalu memasukkannya ke lubang pintu dan memutarnya.

Aziz menuntunnya melalui labirin koridor yang sangat gelap. Udara di sana terasa sedikit lembab, seperti hembusan napas yang keluar dari mulut yang telah lama tertutup.

Tepat ketika Bobby hendak bertanya mau ke mana mereka, sampailah mereka di hadapan tangga yang terbuat dari besi dan membentuk zig-zag. Kemudian mereka menaiki undakannya satu demi satu.

Sesampainya di atas, Aziz membuka pintu yang langsung menyibakkan sinar matahari yang sangat terang.

Bobby menutupi mata dengan tangannya saat Aziz membimbingnya berjalan melewati pintu.

Dia hampir kehabisan napas saat pertama kali masuk ke The Alhambra; dan kini dia benar-benar kehabisan napasnya.

Mereka berada di atap bangunan toko, tapi sulit untuk memastikannya.

Sebuah taman yang amat sangat indah terbentang di hadapan mereka, pohon-pohon yang cukup besar membendung pandangan ke langit dan menaunginya dari sinar matahari. Dan walaupun udara sebenarnya bersuhu 90 derajat, namun di sana, dengan udara yang berkabut, membuatnya bersuhu 15 derajat lebih rendah.

Aziz berjalan melewati jalan beraspal batu di tengah rerumputan ke meja di dekat air pancur.

“Bawakan minumannya!” seru Aziz sambil menepukkan tangannya saat mereka duduk. Seorang pemuda dengan kulit hitam dan mengenakan jubah putih muncul dari semacam pintu tersembunyi, kemudian berhenti di sebelah Aziz. “Haran, kami ingin kau mengambilkan minuman. Mungkin secangkir kopi? Atau soda?”

Bobby lalu menjawab dengan pelan, tampaknya dia masih kebingungan. “Apa ada Cola?”

Aziz tertawa. “Apa kami punya Cola? Hah! Kalau begitu Cola untuk Mr. Jenkins dan kopi untukku.”

Pemuda tersebut kemudian menghilang, dan Aziz memperhatikan Bobby yang terkagum-kagum karena hal-hal di sekitarnya.

“Indah, bukan?”

“Aku sudah pernah mendengar kebun di atas atap, tapi ini seperti taman di atas atap. Bagaimana Anda bisa membawa ini semua ke atas sini?”

Aziz melambaikan tangannya seolah tidak peduli. “Yang penting ini semua sudah ada di sini, dan kau pun ada di sini.”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu nikmati saja, Mr. Jenkins. Nikmati semua kesempatan yang diberikan dalam hidupmu, seperti aku.”

***

Haran kembali dengan nampan perak yang membawa segelas kopi dan sebuah gelas berisi es yang diletakkan di antara dua botol minuman. Pemuda itu menempatkan semuanya di atas meja, berdiri sejenak di sana sampai Aziz melambaikan tangannya.

“Cola,” ujar Aziz saat Bobby memperhatikan botol tersebut. “Diimpor dari Meksiko, di mana mereka masih membuatnya dengan gula tebu asli, bukan sirup jagung.”

Bobby menuangkan setengah botol ke dalam gelas. Cukup satu tegukan dan Bobby langsung dapat mengetahui bahwa dia tidak pernah meminum Cola yang dibuat di Meksiko. Rasanya dipenuhi dengan rasa manis yang sedikit menggigit.

“Rasanya enak.”

Aziz tersenyum sambil dia menaruh beberapa sendok gula ke dalam kopi hitamnya. “Akan ada kotak yang menunggumu di pintu depan. Anggap saja hadiah dariku.”

Bobby menyeruput soda-nya.

“Jadi, manisan macam apa yang Anda cari hari ini?” Tanya Aziz. Tatapannya sekali lagi menjadi serius.

“Sesuatu yang berbeda, unik… yang tidak dapat ditemukan di manapun.”

Aziz menyapu busa di kumisnya dengan sapu tangan.

“Apa yang dapat Anda rekomedasikan untuk saya? Permen termanis macam apa yang pernah Anda makan?”

Pemilik The Alhambra tersebut terdiam sebentar lalu menuangkan secangkir kopi lagi. “Tidak akan kuberitahu padamu, tapi akan kuberitahukan permen termanis yang pernah kubuat… permen yang paling menakutkan…”

“Menakutkan?”

“Benar. Apa Anda pernah mendengar tentang… manusia permen?” Tanya Aziz yang baru saja selesai menuangkan gula ke dalam kopi-nya.

“Tidak pernah.”

“Ahhh,” hela Aziz. “Sebenarnya itu adalah mayat manusia yang dilumuri dengan madu dan didiamkan selama kurun waktu tertentu sampai menjadi lembut. Dokter di Arab, Cina, dan Mesir telah menggunakan metode ini untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, tentu saja, tergantung dengan bagiam mana yang sakit.”

“Mayat manusia?” ulang Bobby. “Orang-orang memakannya?”

“Benar, tapi hanya manusia yang murni saja yang dapat dijadikan permen, hanya yang telah hidup dengan gaya hidup bersih dan sehat. Itu merupakan manisan yang paling langka dan murni. Dan berharga, amat sangat berharga.”

“Apa Anda pernah…?”

Alis mata Aziz naik dan wajahnya menjadi muram. “Kalau aku bilang tidak, kau tidak akan percaya padaku. Kalau aku bilang ‘iya’, kau akan ketakutan.”

“Tapi Anda tadi mengatakan cerita tersebut mengenai permen termanis yang pernah Anda buat.”

Aziz menuangkan kopi lagi dan memasukkan lebih banyak gula ke dalamnya. Kemudian dia mengaduk dan meneguknya dalam sekali tegukan. “Ketika aku masih muda, aku menolong ayah dan pamanku untuk membuat manusia permen. Saat itu merupakan pengalaman yang… unik. Pengalaman yang akan selalu kuingat.”

“Untuk apa Anda membuatnya?”

“Tentu saja kami membuatnya untuk para dokter yang kemudian akan meresepkannya kepada pasiennya… paling tidak pasien-pasien yang kaya. Dan agar para penggemar makanan manis sepertimu dapat menikmati kesempatan menyicipi rasa manis yang tak terhingga.”

Bobby menelan ludahnya. “Jadi, apakah Anda sudah pernah…”

“Sekarang hanya tersisa sebuah bagian kecil dari manusia permen tersebut,” ujar Aziz, mengabaikan pertanyaannya. “Bagian terakhir setelah empat puluh lima tahun. Hanya ujung jarinya saja. Aku telah menyimpannya selama lima tahun ini. Kurasa aku telah menyimpannya untukmu, Mr. Jenkins. Kurasa Anda-lah orang yang tepat.”

“Aku? Apa yang membuat Anda berpikir kalau saya ingin… memakan bagian mayat manusia?”

Aziz tersenyum. “Apakah keju adalah susu basi? Apakah sebotol wine tua hanya sekedar anggur yang membusuk? Tidak, prosesnya yang menjadikan mereka lebih dari itu, sama halnya dengan proses pelumuran yang membuat daging lebih dari sekedar daging.”

“Tapi keju dan anggur bukanlah mayat manusia. Jadi, tidak, terima kasih.”

Bobby berdiri dari kursinya dan berbalik mencoba menemukan jalan masuk mereka tadi.

Aziz masih duduk di sana, menuangkan segelas kopi lagi. “Kukira kita sama.”

“Aku juga.” Jawab Bobby. “Tapi tidak sama untuk urusan seperti itu.”

“Saya kira Anda adalah penggemar manisan, mungkin seorang pria yang dapat menghargai sisa terakhir dari sesuatu yang langka… sesuatu yang sakral.”

Bobby menatapnya, namun tidak berkata apapun.

“Anda tadi bilang bahwa Anda ingin sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak akan dapat Anda dapatkan di manapun.”

“Aku berbicara tentang permen yang tidak akan ada habisnya atau permen yang mempunyai rasa seperti makan malam lengkap. Bukan bagian manis dari mayat manusia. Terima kasih, Mr. Aziz. Tapi tidak, tidak untukku.”

Mr. Aziz masih tidak bergerak, dan untuk beberapa saat yang membuat Bobby berkeringat, dia berpikir mungkin ada konsekuensi karena mengatakan tidak. Namun Aziz hanya menggerakkan tangannya. Dengan segera, Haran muncul.

“Ajak Mr. Jenkins ke depan.”

Haran membungkuk dan meminta Bobby agar mengikutinya.

Mereka turun beberapa langkah melalui jalan berbatu, dan Mr. Aziz memanggilnya.

“Mr. Jenkins… pikirkanlah… pikirkanlah masak-masak. Itu adalah suatu kehormatan khusus yang kutawarkan padamu,” ujarnya. “Oh, dan jangan lupa sekotak Cola-mu. Haran akan menolong membawakannya ke mobilmu.”

***

Dua minggu pun berlalu.

Bobby menyibukkan dirinya dengan urusan di kantornya, kadang-kadang bekerja lembur, menahan diri untuk pergi ke The Alhambra selama mungkin.

Tapi dia tahu bahwa dia harus kembali ke sana, karena dia terus-terusan memimpikannya.

Di dalam mimpinya, dia duduk di meja di taman itu, Mr. Aziz di sampingnya, tersenyum… dan tersenyum…

Di hadapannya ada nampan emas dengan sebuah potongan tangan manusia di atasnya, terpotong pada bagian pergelangannya, tergeletak dengan telapak mengarah ke atas, jari-jarinya membengkok ke dalam. Tangan tersebut ditaruh dalam luapan cairan kental yang berwarna sawo matang.

Dalam mimpinya, dia menjepit tangan tersebut ke piringnya dengan garpu dan membuat irisan halus di bagian bawah jempolnya. Bagian dalam dagingnya berwarna keemasan, dan terasa padat.

Dia mengangkat garpunya, cairan keemasan menetes ke piringnya, menetes seperti kilauan matahari, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya.

Tepat saat dia hendak mengunyahnya, mimpinya berakhir.

Dia masih dapat mengingat teksturnya, padat seperti daging, lembut ketika digigit, melumer di mulutnya. Dia dapat merasakan rasa aneh yang tertinggal di mulutnya, sangat menghantuinya, manis dan kental dan…

…namun perlahan menghilang… menghilang…

Dia memimpikan hal yang sama tiga kali sebelum dia kembali ke The Alhambra.

***

“Ahhh, Mr. Jenkins,” Aziz menyambutnya saat dia masuk ke dalam toko. “Senang bertemu Anda lagi. Sudah lama sekali. Apa Anda menikmati Cola-nya?”

Bobby mengangguk, dia berkeringat walaupun udara di dalam sana, seperti biasa, dingin. “Iya, rasanya enak sekali. Tapi itu bukan… maksudku… itu bukan alasanku…”

Aziz menoleh padanya, dan Bobby melihat matanya berseri-seri.

“Tentu saja bukan. Anda ke sini untuk menikmati manusia permen seperti yang telah kuperkirakan,” ujar Aziz sambil tersenyum.

“Dengar,” kata Bobby, memastikan kalau pembicaraan mereka tidak dapat didengar orang lain. “Aku ada pertanyaan. Maksudku… apakah itu… legal? Berbahaya? Apa aku akan mampu membayarnya?”

Senyum Mr. Aziz melebar dan dia tertawa terbahak-bahak. “Iya, iya, dan iya, semuanya iya. Sekarang, ayo, mari kita ke atas untuk mengatur semuanya.”

***

Manusia permen mungkin satu-satunya permen yang pernah Bobby dengar membutuhkan serangkaian persiapan sebelum dapat memakannya.

“Anda harus menjaga tubuh Anda, terutama bentuk tubuh Anda,” ujar Aziz sambil menepuk perut Bobby yang berguncang-guncang dengan berat sekitar 15 pond sejak dia menemukan The Alhambra. “Khususnya selama 27 hari mendatang.”

“27 hari?” Tanya Bobby yang langsung terkejut. “Untuk apa?”

“Karena selama 27 hari mendatang Anda tidak boleh memakan apa-apa kecuali madu dan air putih. Tidak boleh roti, daging, ataupun alkohol. Hanya madu. Saya akan menyediakan semuanya.”

“Kedengarannya tidak sehat.”

“Buktinya lebah dapat melakukannya,” jawab Aziz. “Madu adalah makanan yang paling sempurna. Oleh karena itulah, badanmu harus penuh dengannya sebelum Anda dapat memakan manusia permen.”

“Dan berapa harga yang harus kubayarkan?” Tanya Bobby.

Aziz berkedip, mengerutkan dahinya, seolah dia belum terpikirkan akan hal ini. “Kira-kira… seribu dolar.”

“Seribu dolar? Hanya segitu? Untuk sesuatu yang langka dan tidak biasa? Dan terlebih lagi, bagian yang terakhir?”

Aziz tersenyum seperti seorang penjual narkoba. “Karena saya tahu bahwa Anda akan mendatangkan banyak keuntungan untuk saya di masa mendatang.”

***

Hari-hari pun berlalu, dan dia merasa segar, lebih baik daripada yang telah diperkirakannya; merasa lebih baik dibanding selama ini. Awalnya dia khawatir jika tidak akan cukup makan dan menjaga energinya, namun semua itu sepertinya tidak masalah. Dia membawa setoples madu di dalam kopornya, satu toples setiap harinya, menyendok sebagian madu setiap kali dia merasa lapar.

Sekarang dia pergi ke gym setiap hari, berolahraga paling sedikit dua jam. Dalam seminggu, sebagian besar berat badannya karena memakan permen dari The Alhambra telah menghilang. Seminggu kemudian tubuhnya telah sempurna.

Otot yang awalnya tidak terlihat sebelumnya kini terlihat sangat jelas melalui pakaiannya.

Bosnya memanggil ke ruangannya untuk mengatakan padanya bahwa beberapa rekan kerjanya melihat dia bekerja selama makan siang dan tidak memakan apapun kecuali sesendok penuh madu dan sebotol air mineral. Semua orang sudah mengetahui kebiasaannya memakan makanan manis, namun kini mereka pikir ada yang sangat salah dengannya.

Tapi Bobby meyakinkannya dan mereka semua (termasuk ibunya) kalau dia baik-baik saja… bahkan lebih baik dari itu. Dia amat sangat sehat. Tubuhnya sangat sehat.

“Mungkin kau sedang diet?” Tanya bosnya.

“Yeah, hanya sekedar diet.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Oke, kalau begitu, jaga dirimu. Kau sangat berharga.” Bobby maupun bos-nya tidak tahu betapa benarnya perkataan itu.

***

Tubuh Bobby gemetaran saat dia tiba, dia tidak tahu apakah itu bentuk antisipasi atau fakta bahwa setiap molekul di tubuhnya bergetar dengan frekuensi yang sangat cepat.

Haran membukakan pintu untuknya, membimbingnya ke taman di atas atap. Malam itu sangat dingin, musim panas mulai beralih menjadi musim gugur. Matahari sudah turun di kaki langit, membuatnya sewarna mawar. Tepat seperti di mimpinya, Mr. Aziz sedang duduk di meja.

“Saya senang Anda datang kemari,” sahutnya, lalu mendekat untuk memeluknya. Bobby menerima pelukannya, merasa kebingungan, lalu memeluknya juga. Dia dapat mencium aroma sisa cukurannya.

Aziz mengajaknya untuk duduk, lalu menyuruh Haran pergi agar mereka dapat berbincang berdua. “Jadi, kau sudah siap?”

“Ya, sangat.”

“Bagus sekali. Kalau begitu, mari kita mulai.”

“Kau ingin aku membayarmu sekarang? Aku membawa uangnya.” Bobby lalu mengeluarkan sebuah amplop putih polos.

Lagi-lagi Aziz terlihat terkejut. “Oh, ya, baiklah.” Dia mengambil amplopnya dan menaruhnya dengan sangat cekatan seperti seorang pesulap ke saku di dalam setelan gelapnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku yang sama lalu menaruhnya di atas meja.

“Bagian terakhir dari manusia permen.”

Kotak itu terlihat sederhana dan seukuran kotak korek api. Bobby menyentuh permukaan besi kotak tersebut, kemudian menaruhnya di telapak tangannya, lalu mengangkatnya. Dia membuka penutupnya. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk dapat mengetahui dengan jelas apa yang dilihatnya.

Bersarang di dalam kotak tersebut adalah benda yang telah berkerut seukuran permen karet.

Kuku yang masih menempel di sana membuktikan bahwa itu adalah ujung jari manusia.

Warnanya coklat keemasan, sewarna masakan Prancis yang dimasak dengan baik. Kukunya sedikit lebih panjang daripada jarinya, namun telah melunak dan lembut di ujungnya.

Aromanya sangat tajam; manis dan aromatis, semerbak bunga dan terasa sedikit tajam.

Bobby sangat terkejut sampai membuatnya mengeluarkan air liur.

Dia menyentuh jari tersebut sebentar. Rasanya lembut, tapi tidak seperti jelly; lembab tapi tidak basah; lengket tapi tidak merekat.

Dia mengangkatnya dari kotak sampai ke hidungnya.

Aromanya memabukkan, tercium olehnya semua aroma dari permen yang pernah dimakannya selama ini—coklat, licorice, almond, dan karamel.

Hampir tanpa ragu-ragu ia membuka mulutnya, menaruhnya di atas lidahnya, lalu menutup bibir dan matanya.

Dia tidak bergerak, tidak pula mengunyah, hanya membiarkannya di lidahnya sampai meleleh.

Rasanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Permen tersebut menghangatkan mulutnya, mengirim aliran rasa lezat ke seluruh permukaan lidahnya, aliran rasa madu, namun juga rasa yang lebih mendasar.

Daging… iya, benar… daging.

Perutnya mungkin ingin memaksanya untuk memuntahkan ujung jari tersebut ke atas meja, tapi tidak, dia tidak melakukannya karena rasanya amat sangat lezat.

Rasanya merupakan campuran dari berbagai macam rasa; rasa manis, rasa asin, rasa lezat…

…dan tidak ada lagi… tidak ada lagi yang terasa seperti ini sebelumnya.

Kemudian dia menggigitnya, dan daging tersebut berpindah, menempel di bawah giginya dengan rasa seperti tekstur karamel; awalnya padat, namun kemudian melunak.

Matanya masih tertutup, dia mengunyah. Mulutnya dipenuhi liur dan dia berusaha agar tidak menelannya, kalau dia menelannya, maka ini semua akan berakhir dengan cepat.

Kemudian semua itu benar-benar selesai saat potongan terakhirnya turun melalui tenggorokannya. Ada rasa daging busuk yang bertahan sebentar. Namun itu tertutupi oleh ledakan aroma bunga yang manis—rasanya seperti kembang gula.

Kemudian dia berpikir, berpikir di saat-saat terakhir tersebut, bahwa seperti inilah rasa bunga yang dirasakan oleh lebah yang membuat madu; sari madunya, kemurniannya, dan terasa manis oleh aromanya.

Dia menelan bagian akhirnya, kemudian melihat Mr. Aziz.

Ada air mata turun dari matanya.

“Terima kasih… ya, Tuhan… terima kasih.”

“Terima kasih,” Aziz balik tersenyum kepadanya. “Kau tidak tahu betapa bahagianya aku saat ini.”

Bobby tidak tahu lagi jam berapa sekarang, dia tidak tahu sudah berapa lama dia duduk di sana.

“Aku merasa… tidak ada lagi yang dapat melebihi pengalaman ini. Seolah ini adalah akhir untukku dan semua makanan manis.”

“Oh,” Aziz tersenyum, kemudian mengambil kembali kotaknya, lalu menutupnya dan menaruhnya kembali di dalam saku jaketnya. “Kalau aku jadi kau, aku tidak akan mengatakan itu.”

***

Pagi harinya, Bobby terbangun dan merasa aneh.

Dia duduk di pinggir ranjang sebentar, mencoba mencari tahu apa yang aneh.

Kemudian dia tersadar; energi aneh yang telah merasukinya selama sebulan terakhir ini telah lenyap. Sekarang digantikan oleh kekakuan di dalam dirinya seolah darahnya terlalu kental untuk dapat mengalir di pembuluh darahnya.

Ada pula sebuah rasa di mulutnya, sebuah rasa yang tidak mengenakkan, terasa seperti sesuatu yang busuk seolah giginya terinfeksi.

Rasanya seperti daging mayat yang manis.

Bobby lalu menyibakkan selimutnya dan berdiri, kemudian pergi ke kamar mandi dan melihat ke kaca di atas wastafel. Wajahnya menggembung, matanya muram, dia terlihat seperti orang yang mabuk berat.

Namun ada sesuatu yang amat sangat salah, mungkin karena pencahayaan di kamar mandinya.

Kulitnya berwarna kuning gelap. Bahkan putih matanya berwarna keemasan, telapaknya, kuku jarinya.

Dengan menggelengkan kepalanya, dia melangkah ke toilet dan mencoba untuk buang air kecil.

Hampir satu menit berlalu. Dia membuka matanya, lalu melihat ke bawah. Dari tadi tidak ada air yang keluar.

Ada sesuatu di dalam kandung kemihnya, terasa seperti aliran sebuah cairan.

Kemudian muncullah rasa perih, perih yang sangat tiba-tiba, sangat kuat sehingga kakinya berguncang-guncang, lututnya pun menekuk. Perutnya keram, dan dia merasa seolah mengeluarkan tali yang terbuat dari api.

Dia berharap melihat darah di toilet, tapi yang dilihatnya bahkan lebih buruk dari itu.

Dia berhasil kencing, namun itu bukanlah aliran urin yang biasa dikeluarkannya.

Itu adalah aliran keemasan kental yang bergerak perlahan seperti sirup.

Dan rasanya sangat sakit, terlalu kental untuk dapat dikeluarkan.

Cairan tersebut jatuh ke dalam toilet, lalu melingkar di dasarnya.

Saat bulir-bulir keringat mulai membasahi dahinya, baunya mulai tercium olehnya; semerbak bunga, dan manis.

Sambil bergetar kesakitan dan ketakutan, dia mencolet sebagian dengan jarinya lalu mengecapnya.

Madu… dia kencing madu.

Saat dia tersadar akan hal ini, sebuah gelombang rasa sakit membuncah di perutnya, membuatnya tersungkur ke lantai toilet yang dingin.

Saat kesadarannya mulai menurun, dia teringat dengan seribu dolar yang diberikannya pada Aziz.

Dia dulu berpikir betapa murah harganya.

***

Toko permen tersebut belum buka, tapi dia tidak peduli. Dia memarkirkan mobilnya di perhentian di depan jendela kaca toko tersebut. Sambil mengintip melalui tirai di balik jendela dia tahu bahwa tokonya sudah kosong dan lampunya padam.

“Aziz!” teriaknya, sambil memukul-mukul jeruji besi di jendelanya.  “Aziz! buka pintunya!”

Orang-orang yang lewat di sana semua menoleh ke arahnya. Dia tidak sempat berpakaian, jadi dia masih mengenakan celana pendek dan kaus yang dibawanya tidur semalam.

Haran dengan mata melebar membuka kunci pintunya.

“Mr. Jenkins?” tanyanya terkejut. “Ada yang dapat saya…”

“Aziz,” gumam Bobby. “Ingin bertemu dengannya.”

Dia menyeret tubuhnya melewati Haran yang kembali menutup pintunya.

Bobby tersandung-sandung saat melewati ruangannya yang gelap dan menabrak seluruh pajangan permen.

“Mari,” kata Haran sambil mengambil lengannya. “Biar saya bantu.”

***

Di taman, Bobby bergerak secepat mungkin menuju Aziz yang sedang duduk di meja sambil meminum kopi.

Saat Bobby mendekat, Aziz melihatnya, sama sekali tidak terkejut melihatnya.

“Atheeth,” teriak Bobby melalui tenggorokannya yang telah parau dan mengerut. “Apha yhang thelah khau lhakhukan phadhakhu?”

Mr. Aziz menyambutnya dengan riang, matanya berbinar-binar seperti saat pertama kali mereka bertemu.

“Kau benar-benar orang yang sangat tepat, Mr. Jenkins,” ujarnya. “Kita memang sejenis.”

Bobby kini menjadi sulit bernapas, paru-parunya seolah terisi oleh cairan kental.

“Apha?”

“Pembuat permen dan permennya. Apa… maksudmu kau tidak pernah menyadarinya?”

Bobby merasakan air mata seperti sirup merembes dari matanya, lalu bergulir di pipinya. Ketika menyentuh mulutnya, dia tidak terkejut kalau terasa manis.

“Bagian terakhir manusia permen biasanya digunakan untuk membuat manusia permen yang baru,” Aziz menjelaskan, dia kemudian berdiri dan mendekatinya. Dia mengambil tangan Bobby. Tangannya membengkak dan berwarna coklat keemasan.

Bobby melihat Aziz mengeluarkan belati yang membengkok dengan tajam dari jaketnya.

“Ini tidak akan sakit… tidak sedikit pun, lihat saja.”

Pisau itu masuk ke dalam dadanya dengan perlahan dan saat Bobby merasakannya masuk ke dalam tubuhnya, dia tidak merasa sakit, seperti yang dijanjikan Aziz. Dan dari luka tersebut keluarlah madu.

Samar-samar dia melihat Haran membawa kotak kayu, kemudian mereka memasukkannya ke dalam sana.

“Maaf, tapi peti kayu ini hanya untuk sementara,” Aziz meminta maaf. “Beberapa hari setelah perubahannya selesai dan kau telah mati, kami akan menempatkanmu ke sarkofagus batu, lalu menutupimu dengan madu. Di sanalah kau akan terendam selama setahun sebelum…”

Aziz mengulurkan tangannya lalu menyentuh pipinya.

Bobby merasakan air mata menjalar turun di kedua sisi wajahnya, terbendung di telinganya.

“Kau akan menolong banyak orang,” ujarnya, matanya besar, basah, dan terlihat hampir seperti mengasihani.

Bobby mencoba mengatakan sesuatu, untuk memohon, tapi tidak ada yang dapat keluar dari mulutnya sekarang; tidak ada kata-kata; setumpuk madu mengalir sampai ke bawah dagunya.

Aziz memberikannya senyuman terakhir. “Kau adalah pelanggan yang manis, Mr. Jenkins, mungkin yang termanis. Sekarang kau akan menjadi permen termanis yang pernah kubuat, juga yang paling menakutkan.”

Penutup petinya menutupi wajah Bobby, dan kegelapan pun menyelimutinya, kegelapan yang tebal seperti madu.
Sumber :
http://cerpenmancanegara.blogspot.com/