Tentang Buku
‘Cari
dan kamu akan temukan’
Dengan
kata-kata ini menggema di kepalanya, simbolog terkenal Harvard, Robert Langdon,
terbangun di sebuah ranjang rumah sakit tanpa ingatan di mana dia berada ataupun
bagaimana dia bisa berada di sana. Juga tidak bisa menjelaskan asal objek
mengerikan yang ditemukan tersembunyi dalam barang-barangnya.
Ancaman
pada nyawanya akan mendorongnya dan seorang dokter muda, Sienna Brooks, menuju
pengejaran berbahaya melalui kota Florence. Hanya pengetahuan Langdon akan
lorong-lorong tersembunyi dan rahasia kuno yang tersembunyi dibelakang
penglihatan historiknya dapat menyelamatkan mereka dari cengkeraman pengejar
yang tidak mereka ketahui.
Hanya
dengan sedikit baris dari karya gelap dan epik Dante, The Inferno, untuk memandunya, mereka harus menguraikan urutan
kode-kode yang tertanam dalam di beberapa artefak paling terkenal masa
Renaissance – patung, lukisan, bangunan – untuk menemukan jawaban sebuah
teka-teki yang mungkin, atau tidak mungkin, membantu mereka menyelamatkan dunia
dari ancaman yang menakutkan….
Mengambil
setting pemandangan luar biasa yang terinspirasi oleh salah satu sastra klasik
paling menyenangkan dalam sejarah, Inferno
merupakan novel Dan Brown yang paling menarik dan menguras pemikiran, thriller memburu
waktu yang melelahkan akan membawa Anda dari halaman satu dan tidak mengijinkan
Anda beranjak hingga menutup buku.
FAKTA:
Semua
karya seni, literatur, ilmu, dan referensi sejarah dalam novel ini adalah
nyata.
“The
Consortium” adalah sebuah organisasi rahasia dengan kantor di tujuh negara.
Namanya telah diubah untuk kepentingan keamanan dan privasi.
“Inferno” adalah neraka sebagaimana
digambarkan dam puisi epik karya Dante Alighieri, The Divine Comedy, yang menggambarkan neraka merupakan sebuah
struktur rumit alam yang dihuni oleh kesatuan yang dikenal sebagai “Shades” – jiwa tanpa tubuh yang
terperangkap antara hidup dan mati.
PROLOG
Akulah Shade
Melalui
kota dolent, aku kabur
Melalui
celaka yang kekal, aku terbang.
Sepanjang tepian Sungai Arno, aku
berjuang, terengah-engah … membelok ke kiri menuju Via dei Castellani,
meneruskan langkahku ke utara, berkerumun dalam bayang-bayang Uffizi.
Dan mereka masih mengejarku.
Langkah kaki mereka sekarang makin keras
saat mereka berburu dengan tekad tanpa henti.
Bertahun-tahun mereka mengejarku.
Ketekunan mereka membuatku tetap bersembunyi … memaksaku untuk hidup di sela
gunung … bekerja di bawah bumi seperti seekor monster chthonic.
Akulah Shade.
Di sini di permukaan, aku membuka mataku
ke utara, tapi aku tidak bisa menemukan jalur langsung menuju keselamatan … hingga
Pegunungan Apennine menghapus cahaya pertama fajar.
Aku melewati bagian belakang palazzo
dengan menaranya dan seratus jam … mengular melalui penjaja dini hari di Piazza
di San Firenze dengan suara-suara seraknya beraromakan lampredotto dan zaitun panggang. Menyeberang sebelum Bargello, aku
memotong ke barat menuju puncak menara Badia dan memanjat gerbang besi di
bagian dasar anak tangga.
Di
sini semua keragu-raguan harus ditinggalkan.
Aku memutar pegangannya dan melangkah ke
lorong yang aku tahu bahwa di sana tidak akan ada jalan untuk kembali. Aku
memaksa kakiku menuju tangga sempit … memutar menuju angkasa di atas tapak marmer
halus, berbintik, dan usang.
Suara-suara menggema dari bawah.
Memohon.
Mereka di belakangku, tanpa hasil,
mendekat.
Mereka
tidak paham apa yang datang…juga apa yang telah kulakukan untuk mereka!
Berterimakasihlah
pada tanah!
Semakin aku mendaki, penglihatan menjadi
susah … tubuh penuh nafsu menggeliat dalam hujan api, jiwa rakus mengapung di
kotoran, penjahat berbahaya membeku dalam genggaman es Setan.
Aku memanjat anak tangga terakhir dan
sampai di puncak, sempoyongan mendekati kematian menuju udara pagi yang lembab.
Aku buru-buru menuju dinding setinggi kepala, mengintip melalui celah. Jauh di
bawah adalah kota yang terberkati yang telah menjadi perlindunganku dari mereka
yang mengasingkanku.
Suara-suara
memanggil, mendekat di belakangku, “Apa yang kamu lakukan adalah kegilaan!”
Kegilaan
melahirkan kegilaan.
“Demi kasih Tuhan,” mereka berteriak,
“Beri tahu kami di mana kamu telah menyembunyikannya!”
Untuk
tepatnya demi kasih Tuhan, aku tidak akan.
Aku berdiri sekarang, terpojok,
punggungku pada batu yang dingin. Mereka menatap dalam ke mata hijau jernihku,
dan ekspresi mereka semakin gelap, tidak lagi membujuk, tapi mengancam, “Kamu
tahu kami mempunyai cara sendiri. Kami dapat memaksamu untuk memberi tahu kami
dimana itu.”
Untuk
alasan itu, aku telah mendaki separuh jalan ke surga.
Tanpa peringatan, aku memutar dan
menggapai, melingkarkan jariku pada langkan tinggi, menarik tubuhku ke atas, susah
payah memanjat dengan kakiku, kemudian berdiri … tidak mantap pada jurang. Bimbing aku, wahai Virgil, melewati
kekosongan.
Mereka menghambur ke depan dalam
ketidakpercayaan, ingin meraih kakiku, tapi takut mereka akan mengganggu
keseimbanganku dan membunuhku. Mereka memohon sekarang, dalam keputusasaan,
tapi aku telah memutar punggungku. Aku
tahu apa yang harus aku lakukan.
Di bawahku, berputar jauh di bawahku,
barisan atap merah menghampar bagaikan lautan api di pedesaan, menerangi tanah
adil di mana raksasa sesekali berkeliaran … Giotto, Donatello, Brunelleschi,
Michelangelo, Botticelli.
Aku melangkahkan tungkaiku setapak ke
bagian tepi.
“Turunlah!” Mereka berteriak. “Ini belum
terlambat!”
O,
bodoh! Tidakkah kalian melihat masa depan? Tidakkah kalian memahami kemegahan
ciptaanku? Kebutuhan?
Aku akan bahagia membuat pengorbanan
terakhir ini … dan dengan itu aku akan memusnahkan harapan terakhir kalian untuk menemukan apa yang kalian cari.
Kalian
tidak akan pernah menemukannya tepat waktu.
Ratusan kaki di bawah, piazza batu besar
mengundang seperti oase yang tenang. Bagaimana aku mengulur waktu lebih banyak
… tapi waktu adalah komoditas utama, bahkan keberuntunganku yang luas tidak
dapat mengusahakannya.
Di detik-detik terakhir ini, aku menatap
ke bawah pada piazza, dan aku melihat sebuah pandangan yang mengagetkanku.
Aku melihat wajahmu.
Kamu menatap ke atas padaku dari
bayangan. Matamu sedih, dan di dalamnya aku merasakan rasa hormat yang mendalam
untuk apa yang telah aku capai. Kamu paham aku tidak mempunyai pilihan. Demi
kasih umat manusia, aku harus melindungi karya besarku.
Hal
itu bahkan tumbuh sekarang … menunggu … mendidih di bawah air merah darah
laguna yang merefleksikan tiada satupun bintang.
Dan aku mengangkat mataku dari matamu
dan aku menatap cakrawala. Jauh di atas dunia yang terbakar ini, aku membuat
permohonan terakhirku.
Wahai
Tuhan, aku berdoa agar dunia mengingat namaku bukan sebagai seorang pendosa
yang mengerikan, tetapi sebagai penyelamat mulia yang Kamu tahu sejatinya
diriku. Aku berdoa semoga umat manusia akan memahami pemberian yang aku
tinggalkan.
Pemberianku
adalah masa depan.
Pemberianku
adalah keselamatan.
Pemberianku
adalah Inferno.
Dengan itu, aku membisikkan amin … dan
mengambil langkah terakhirku, menuju lubang yang dalam.
BAB I
Kenangan
perlahan menjadi kenyataan … seperti gelembung menuju permukaan dari kegelapan
sumur tanpa dasar.
Seorang
wanita berkerudung.
Robert Langdon menatapnya di seberang
sungai yang airnya bergejolak menjadi merah dengan darah. Di seberang tepian,
wanita itu berdiri menghadapnya, tak bergerak, khidmat, wajahnya tertutup oleh
selembar kain kafan. Di tangannya, dia mencengkeram baju tainia biru, yang sekarang dia angkat sebagai penghormatan pada
lautan mayat di kakinya. Aroma kematian tergantung di segala penjuru.
Cari,
wanita itu berbisik. Dan kamu akan
temukan.
Langdon mendengar kata-kata itu seperti
dia mengucapkannya di dalam kepalanya. “Siapa kamu?” Langdon berteriak, tapi
suaranya tak bisa keluar.
Waktu
memendek, dia berbisik. Cari
dan temukan.
Langdon melangkah menuju sungai, tapi
dia dapat melihat airnya semerah darah dan terlalu dalam untuk melintas. Ketika
Langdon mengangkat matanya lagi pada wanita berkerudung, tubuh itu berlipat
ganda pada kakinya. Mereka menjadi ratusan sekarang, mungkin ribuan, beberapa
masih hidup, menggeliat dalam kesakitan, sekarat kematian yang tidak dapat
dipikirkan … dilahap api, terkubur dalam kotoran, saling lahap satu sama lain.
Langdon dapat mendengar tangisan sedih manusia menderita menggema di air.
Wanita itu bergerak kepadanya, mengulurkan
tangan rampingnya, mengisyaratkan minta bantuan.
“Siapa kamu?!” Langdon kembali
berteriak.
Sebagai responnya, wanita itu menggapai
dan perlahan mengangkat kerudung dari wajahnya. Dia sangat cantik, dan lebih
tua dari yang diperkirakan Langdon – 60 tahun mungkin, agung dan kuat, seperti
patung abadi. Dia memiliki rahang yang tegas, mata dalam penuh perasaan, dan
rambut abu-abu perak panjang yang mengikal melewati bahunya. Liontin lapis
azuli tergantung di lehernya – seekor ular yang melingkari sebuah tongkat.
Langdon merasa mengenalnya …
mempercayainya. Tapi bagaimana? Mengapa?
Wanita itu sekarang menunjuk pada
sepasang tungkai yang menggeliat, menjulur terbalik dari bumi, tampaknya milik
beberapa jiwa malang yang dikubur kepalanya terlebih dulu hingga pinggangnya.
Paha pucat seorang pria yang tercantum sebuah huruf – tertulis dengan lumpur – R.
R?
Langdon berpikir, tak yakin. Sebagaimana
dalam … Robert? “apakah itu … aku?”
Wajah wanita itu tak mengungkapkan
sesuatu. Cari dan temukan, dia
mengulanginya.
Tanpa peringatan, wanita itu mulai
memancarkan cahaya putih … terang dan semakin terang, seluruh tubunya mulai
bergetar hebat, dan kemudian, secepat kilat, dia meledak menjadi ribuan keping
cahaya.
Langdon terlonjak bangun, berteriak.
Ruangan itu terang. Dia sendiri. Aroma
tajam alkohol medis tergantung di udara, dan di suatu tempat sebuah mesin
berbunyi seirama dengan jantungnya. Langdon berusaha menggerakkan lengan
kanannya, tapi rasa sakit yang menusuk menahannya. Dia menunduk dan melihat
sebuah infus tertancap di kulit lengan bawahnya.
Denyut nadinya menjadi cepat, dan
mesinnya memacu, berbunyi semakin cepat.
Di
mana aku? Apa yang terjadi?
Bagian belakang kepala Langdon
berdenyut, rasa sakit yang menggigit. Dengan hati-hati, dia menggapai dengan
tangannya yang bebas dan menyentuh kulit kepalanya, berusaha menemukan sumber
sakit kepalanya. Di bawah rambut kusutnya, dia menemukan pusat dari selusin
jahitan yang berlumur darah kering.
Dia menutup matanya, berusaha mengingat
sebuah kecelakaan.
Tak ada. Kosong total.
Berpikir.
Hanya gelap.
Seorang pria dengan seragam rumah sakit
segera masuk, rupanya diperingatkan oleh monitor jantung Langdon yang memacu. Dia
memiliki jenggot kasar, kumis tebal, dan mata lembut yang memancarkan
ketenangan dalam dibawah alis lebatnya.
“Apa yang … terjadi?” Langdon
mengendalikan diri. “Apa aku mengalami kecelakaan?”
Pria berjanggut meletakkan jari di
bibirnya, dan segera keluar, memanggil seseorang di hall bawah.
Langdon memutar kepalanya, tapi
gerakannya mengirimkan sakit yang menusuk yang terpancar melalui tengkoraknya. Dia
mengambil nafas dalam dan membiarkan rasa sakit itu berlalu. Kemudian, dengan
lembut dan dengan cara tertentu, dia menilik sekelilingnya yang steril.
Ruang rumah sakit dengan ranjang
tunggal. Tak ada bunga. Tak ada kartu. Langdon melihat pakaiannya di atas meja
di dekatnya, terlipat di dalam tas plastik bening. Mereka tertutup oleh darah.
Oh
Tuhan. Pasti sesuatu yang buruk.
Sekarang Langdon memutar kepalanya
sangat perlahan ke arah jendela disamping ranjangnya. Di luar gelap. Malam. Yang
dapat Langdon lihat di kaca hanyalah pantulan dirinya – seorang asing kelabu,
pucat dan lelah, terhubung pada selang dan kabel, dikelilingi oleh peralatan
medis.
Suara-suara mendekat di hall, dan
Langson memutar tatapannya ke arah ruangan. Dokternya kembali, sekarang
ditemani oleh seorang wanita.
Dia tampak berusia di awal tigapuluhan. Dia
mengenakan seragam rumah sakit berwarna biru dan mengikat rambut pirangnya ke
belakang, dalam sebuah kuncir ekor kuda tebal yang mengayun di belakangnya saat
dia berjalan.
“Saya dr. Sienna Brooks,” dia berkata,
memberikan senyuman pada Langdon saat dia masuk. “Saya akan bekerja dengan dr.
Marconi malam ini.”
Langdon mengangguk lemah.
Tinggi dan lincah, dr. Brooks bergerak
dengan gerakan tegas seorang atlet. Bahkan dalam baju yang tak berbentuk, dia
ramping dan elegan. Meskipun tak ada makeup yang Langdon bisa lihat, kulitnya
tampak luar biasa lembut, satu-satunya cacat adalah sebuah tanda kecil yang
cantik di atas bibirnya. Matanya, meskipun coklat lembut, tampak luar biasa
tajam, seolah-olah telah menyaksikan pengalaman yang dalam yang jarang ditemui
pada orang seusianya.
“dr. Marconi tidak bisa berbicara banyak
dalam Bahasa Inggris,” dia berkata, duduk di sampingnya, “dan beliau meminta
saya untuk mengisi formulir masuk Anda,” Dia memberi Langdon senyuman.
“Terima kasih,” ucap Langdon serak.
“Oke,” dia memulai, nadanya resmi. “Siapa
nama Anda?”
Butuh sedikit waktu. “Robert … Langdon.”
Dia menyorotkan senter kecil pada mata
Langdon. “Pekerjaan?”
Informasi ini muncul bahkan lebih pelan.
“Profesor. Sejarah seni … dan simbologi. Universitas Harvard.”
Dr. Brooks menurunkan senternya, tampak
terkejut. Dokter dengan alis lebat juga sama terkejutnya.
“Anda … orang Amerika?”
Langdon menatapnya bingung.
“Hanya …” Dia ragu-ragu. “Anda tidak
memiliki identitas ketika Anda datang semalam. Anda mengenakan Harris Tweed dan
sepatu kasual Somerset, jadi kami kira orang Inggris.”
“Saya orang Amerika,” Langdon
meyakinkannya, terlalu lelah untuk menjelaskan pilihannya untuk berpakaian baju
yang bagus.
“Adakah yang sakit?”
“Kepalaku.” Langdon menjawab,
tengkoraknya yang berdenyut hanya semakin memburuk oleh cahaya senter. Untungnya,
dia sekarang memasukkannya ke saku, meraih pergelangan tangan Langdon dan mengecek
denyutnya.
“Anda bangun dengan berteriak,” wanita
itu berkata. “Apakah Anda ingat kenapa?”
Langdon teringat kembali pada
penglihatan aneh wanita bertudung yang dikelilingi oleh tubuh-tubuh yang
menggeliat. Cari dan kamu akan temukan.
“Aku mengalami mimpi buruk.”
“Tentang?”
Langdon memberitahunya.
Eksperesi dr. Brooks tetap netral saat
dia membuat catatan pada sebuah clipboard. “Tahukah apa yang mungkin memicu
suatu penglihatan menakutkan?”
Langdon menggali ingatannya dan kemudian
menggelengkan kepalanya.
“Oke, Pak Langdon,” dia berkata, masih
menulis, “Sepasang pertanyaan rutin untukmu. Hari apa ini?”
Langdon berpikir sejenak. “Ini Sabtu. Aku
ingat awal hari ini berjalan menelusuri kampus … pergi ke rangkaian kuliah sore
hari, dan kemudian … sebanyak itu hal terakhir yang aku ingat. Apakah aku
jatuh?”
“Kita akan menuju ke sana. Apakah Anda
tahu dimana Anda sekarang?”
Langdon mengambil tebakan terbaiknya. “Rumah
Sakit Umum Massachussets?”
Dr. Brooks membuat catatan yang lain. “Dan
adakah seseorang yang dapat kami hubungi untukmu? Istri? Anak?”
“Tak ada,” Langdon menjawab berdasarkan
insting. Dia selalu menikmati kesendirian dan kebebasan yang tersedia dari
pilihan hidup kesarjanaan, meskipun dia akui, dalam situasi seperti ini, dia
memilih untuk mempunyai wajah yang familiar di sisinya. “Ada beberapa kolega
yang dapat aku hubungi, tapi aku baik-baik saja.”
Dr. Brooks selesai menulis, dan dokter
yang lebih tua mendekat. Mengusap alis tebalnya, dia mengeluarkan sebuah
perekam suara kecil dari sakunya dan menunjukkannya pada dr. Brooks. Dia mengangguk
paham dan berbalik pada pasiennya.
“Pak Langdon, ketika Anda datang
semalam, Anda menggumamkan sesuatu berkali-kali.” Dia melihat sekilas pada dr.
Marconi, yang mengangkat perekam digital dan menekan sebuah tombol.
Rekaman mulai dimainkan, dan Langdon
mendengar suaranya sendiri yang goyah, berulang kali menggumamkan frase yang
sama: “Ve … sorry. Ve … sorry.”
“Bagiku terdengar,” wanita itu berkata, “seperti
Anda mengatakan, ‘Very sorry. Very sorry.’
”
Langdon setuju, dan karena tidak ada
ingatan tentang hal itu.
Dr. Brooks menatapnya dengan pandangan
intens yang mengganggu. “Tahukah Anda kenapa Anda mengatakan ini? Apakah Anda
meminta maaf tentang sesuatu?”
Saat Langdon menggali sisa gelap
ingatannya, dia kembali melihat wanita bertudung. Dia berdiri di tepian sungai
semerah darah dikelilingi oleh tubuh-tubuh. Bau kematian kembali.
Langdon mengatasi insting rasa bahaya dan
tiba-tiba … bukan hanya untuk dirinya sendiri … tapi untuk semua orang. Bunyi monitor
jantungnya berakselerasi dengan cepat. Ototnya mengencang, dan dia berusaha
untuk bangkit.
Dr. Brooks dengan cepat meletakkan tangan
kuar pada tulang paha Langdon, memaksanya kembali. Dia memberikan tatapan pada
dokter berjanggut, yang berjalan ke meja di dekatnya dan mulai menyiapkan
sesuatu.
Dr. Brooks mendekati Langdon, berbisik
sekarang. “Pak Langdon, kegelisahan adalah hal umum dalam cedera otak, tapi
Anda perlu menjaga tingkat denyut nadi Anda tetap rendah. Tanpa gerakan. Tanpa ketertarikan.
Hanya berbaringlah dan beristirahat. Anda akan baik-baik saja. Ingatan Anda
akan kembali secara perlahan.”
Dokter berjanggut sekarang kembali
dengan sebuah suntikan, yang dia serahkan ke dr. Brooks. Dia menginjeksikan
isinya pada infus Langdon.
“Hanya bius ringan untuk menenangkanmu,”
dia menjelaskan, “dan juga untuk membantu rasa sakitmu.” Dia berdiri untuk
pergi. “Anda akan baik-baik saja, Pak Langdon. Tidurlah. Jika Anda membutuhkan
sesuatu, tekan tombol di sisi tempat tidurmu.”
Dia mematikan lampu dan beranjak dengan
dokter berjanggut.
Dalam kegelapan, Langdon merasa
obat-obatan membasuh sistem organnya hampir secara instan, menyeret tubuhnya
kembali pada sumur dalam, tempat dia tadi berasal. Dia berkelahi dengan
perasaannya, memaksa matanya terbuka dalam kegelapan kamarnya. Dia berusaha
bangkit, tapi tubuhnya terasa seperti semen.
Saat Langdon bergeser, dia menemukan
dirinya lagi, menatap jendela. Lampu mati, dan dalam gelapnya kaca, refleksi
dirinya menghilang, tergantikan oleh kaki langit yang terang di kejauhan.
Di tengah-tengah kontur menara dan kubah,
sebuah penampakan tunggal yang megah mendominasi pandangan Langdon. Bangunan itu
adalah benteng batu yang mengesankan dengan sebuah sandaran berlekuk dan menara
tiga ratus kaki yang menggembung di dekat puncaknya, menggembung keluar ke
benteng machicolated yang besar.
Langdon terduduk segera di ranjangnya,
rasa sakit meledak di kepalanya. Dia berjuang melawan denyutan yang menyakitkan
dan menajamkan pandangan pada menara itu.
Langdon mengetahui struktur abad pertengahan
dengan baik.
Hal itu unik di dunia.
Sayangnya, itu juga berlokasi empat ribu
mil dari Massachussets.
-------------------------
Di
luar jendela, tersembunyi dalam bayangan Via Torregalli, seorang wanita yang
terlatih kuat, tanpa perlu banyak usaha menaiki sepeda motor BMW-nya dan menjalankannya
dengan intensitas seekor harimau kumbang mengejar mangsanya. Pandangannya tajam.
Rambut pendeknya – dengan style spike – menonjol melawan kerah terbalik dari
baju kulitnya. Dia mengecek senjata bungkamnya, dan menatap pada jendela dimana
lampu Robert Langdon baru saja padam.
Awal malam ini misi aslinya menjadi
kacau dan mengerikan.
Kukukan
seekor merpati telah mengubah segalanya.
Sekarang dia datang untuk
memperbaikinya.
sangat menarik, saya juga menyukai karya Dan Brown
ReplyDeleteterima kasih.....
DeleteNext book I must read.!!!
ReplyDeleteSelain Dan Brown, Ada lagi ngak ya penulis thriller yang recomended?
suka banget sama genre ini.
belum nemu yg keren sih gan...
Deletepaling crime gitu genrenya,smacam karen rose dkk...
Ada, coba baca karya Scott Mariani, salah satu novelnya, The Alchemist, sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Menurut saya novel Mariani bergenre sama dengan Dan Brown. Cobain The Alchemist dulu.
Deleteada, bukunya agatha christie tuh, tapi lebih ke pemecahan misteri gitu
DeleteCoba karya umberto eco yg foucoult pendulum n' raymond khoury
ReplyDeletepatut dicoba neh...
DeleteMaaf ne dibuat dalam bentuk ebook dong biar enak bacanya :D kalau seperti ini pusing juga hehhehe **just saran ^,^
ReplyDeletepengennya gitu sih...cm berhubung ini jg baru in progress jd blm berani bikin ebook...
Deletemaklum lg dikejar2 kampus (jadi DPO gitu ceritanya,hehehe)
saya dukung sepenuhnya usaha mbak,
ReplyDeleteditunggu lanjutannya mbak. memang keren nih cerita inferno
ReplyDeletesiap gan
Deleteditunggu lanjutannya kaaaak...
ReplyDeleteserius..serius bangett...
^^
siap
Deletewah keren niih... saya cari2 buku ini... makasih ya mbak...
ReplyDeleteiya sama2....
DeleteYa Allah. Thanks banget udh posting novel Invernonya Dan Brown.Sumpah,histeris bnget waktu googling . padahal dulu dulu aq googling gak ada. Kebanyakan masih bhs inggris. Sekali lagi thank. Semoga ngak telat posting. Ya. :-D :-D
ReplyDeleteyo'i sama2....
Deletethaks broow,
ReplyDeleteini yg saya cari2 sleama ini :p
terima kasih sudah mau tl....ditunggu lanjutannya
ReplyDeleteada link untuk download novel inferno ga sist? :)
ReplyDeletepenasaran bangetzzzz
ReplyDeletetapi g ngerti bhs inggris :'(
Aku dah baca novelnya, menurutku yang kurang itu pas di endingnya kurang klimaks...
ReplyDeletetapi fakta yang dibeberkan bener" harus di telaah oleh kita semua, karena itu bener" akan terjadi jika populasi manusia semakin tidak tercontrol
numpang baca yaa .. kalo bisa terjemahannya dipercepat sampe ending .. :D ... ty vm
ReplyDeleteNice :"Untuk
ReplyDeleteE-Book Lengkapnya Bisa
Contact : +628994278829
mau dong versi lengkap pdf nya. maksih
ReplyDeleteLanjut kak please lebih seru baca novelnya dulu sebelum nonton filmnya tp dicaricari pdfnya gk ada -_-
ReplyDelete