Friday, January 9, 2015

The Mellified Man (Manusia Permen) by John F.D. Taff



John F.D. Taff

The Mellified Man (Manusia Permen)

Permen termanis macam apa yang pernah kalian makan?
Aku tidak akan mengatakannya padamu, tapi akan kuberitahukan permen termanis yang pernah kubuat, permen yang paling mengerikan.

Ini semua berkat kebiasaan Bobby memakan makanan yang manis.

Sebuah ratapan permintaan maaf dari semua orang yang teserang diabetes, orang yang kelebihan berat badan, anak kecil dengan bentuk tubuh jelek yang menyembunyikan permen di balik lemari celana dalamnya.

Permen merupakan roti dan penyangga hidupnya. Menikmati es krim saat makan siang merupakan hal yang lumrah baginya, daripada memakan santapan makan siang biasa, atau memakan kue saat makan malam.

Namun dia tidaklah gendut atau berbadan besar, seperti sebutan ibunya untuk kakaknya. Dia tidak terkena diabetes, dan giginya terlihat sangat bagus untuk ukuran pria yang berumur 31 tahun. Bobby Jenkins, pada kenyataannya, merupakan manusia yang paling dekat dengan istilah sempurna. Kecuali, tentu saja, kebiasaannya memakan makanan yang manis dan fakta bahwa dia lebih menyukai laki-laki daripada perempuan; hanya itulah kekurangannya.



Dia sering berenang, berolahraga, bermain bola tangan dan bola raket di klub, dan berjalan di atas treadmill. Dia tidak merokok, minum, atau memakan banyak daging.

Ahh, namun gula pasir merupakan heroin, kokain, dan obat methamphetamine yang dicampur menjadi satu baginya.

Dan seperti pecandu-pecandu lainnya, dia segan untuk berhenti mengonsumsinya.
Dan seperti pecandu-pecandu lainnya, hidupnya didominasi oleh hal itu.
Dan seperti pecandu-pecandu lainnya pula, hidupnya pun akan diakhiri oleh itu.

***

Bobby sedang menikmati makan siangnya sambil membaca dengan tekun koran yang menyajikan berita tentang merger bisnis yang sedang dikerjakannya. Saat itulah dia mendengar nama The Alhambra, sebuah toko permen yang baru dibuka di kotanya. Karena tempatnya dekat, dia memutuskan untuk mengunjungi tempat tersebut.

Toko tersebut sangat besar dan bangunannya memperlihatkan susunan batu bata merah, berlantai tiga, dan meliputi keseluruhan blok kota. Bagian depan lantai satu dijajari dengan jendela kaca yang memperlihatkan pajangan di dalamnya. Papan namanya pun dibuat dengan sangat bergaya.

Bobby memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam toko. Di luar udara terasa sangat panas, namun di dalam udaranya sejuk.

Baru dua langkah dari pintu masuk, Bobby langsung terpukau. Dia telah menemukan surganya.

Bagian dalam toko tersebut didominasi oleh warna gelap yang menyelimuti hampir seluruh bagian dinding. Wallpaper dengan desain Moor berbalut warna merah dan emas terhampar dari permukaan sampai ke atapnya. Pajangan dan kotak wadah diterangi oleh lampu gantung. Kain sutera menyelimuti atapnya—lagi-lagi berwarna merah dan emas, namun juga terdapat sedikit warna biru tua, hijau, dan ungu kehitaman.

Namun koleksi permen-nya lah yang menarik perhatian Bobby.

Di salah satu sisi ruang yang panjang dan sempit di sana terdapat semua jenis kembang gula dan permen; licorice dan lollipop, permen karet dan permen tangkai diletakkan di sebuah toples; bola popcorn dan permen apel, jelly beans dan semua jenis permen penny. Di sana bahkan ada bagian yang memajang segala jenis permen yang dapat kalian temukan di toko swalayan atau pom bensin.

Di tengah ruangan, di mana Bobby berdiri sambil ternganga, terdapat segala jenis coklat dengan bermacam-macam bentuk dan warna. Di dekatnya ada coklat-coklat batang yang tidak terbungkus, ditumpuk seperti batangan-batangan emas. Ada pula berikat-ikat coklat yang sangat hitam seolah baru saja diambil dari bahan dasar yang membuat malam. Aroma coklatnya saja sudah sangat memabukkan.

Di sisi lain toko tersebut terdapat permen yang tidak biasa. Di sana terdapat permen pastill dari Prancis, permen beras Botan dari Jepang, permen maple dari Kanada, bahkan sekotak besar coklat yang dibalut ulat, jangkrik, dan telur serangga dari Meksiko, dan semacam permen ikan kering dari Norwegia.

“Ahhh, Anda terlihat sangat terpesona.” Datanglah sebuah suara, dengan nada baritone dan aksen yang kabur. “Saya sendiri juga terpesona… dan saya-lah pemilik tempat ini.”

Bobby berpaling dan melihat seorang pria yang mungkin keturunan Spanyol atau Arab. Dia lebih pendek dari Bobby, dengan wajah yang seolah dipahat dari kayu hitam di ruangan tersebut. Umurnya mungkin sekitar 45 atau 55; sulit untuk memastikannya. Sebuah kumis yang sangat indah bertengger di bawah bibirnya dan rambutnya pun sama saja, dengan sedikit uban di sana-sini.

“Anda sepertinya… orang yang sangat beruntung di kota ini.” Ujar Bobby yang masih terlihat tidak sadarkan diri.

Pria itu lalu tertawa, sebuah ledakan tawa yang membahana ke seluruh ruangan, dan menarik perhatian dari pelanggan yang lain.

“Saya tahu kalau kita sama ketika Anda pertama kali masuk tadi,” kekehnya. Kata-kata tersebut dan caranya tertawa yang menarik perhatian membuat Bobby sedikit merinding.

“Nama saya Afaz Aziz. Pemilik The Alhambra. Ayo kemari, apa yang dapat aku perlihatkan kepadamu?” Tanyanya. “Atau lebih tepatnya, apa yang dapat kuberikan padamu?”

Mr. Aziz mengatakan ini dengan gaya seorang penjual narkoba; dan seperti pecandu obat-obatan lainnya, Bobby mengikutinya.

***

Sekantong permen yang dibelinya di The Alhambra siang itu langsung dihabiskannya dalam waktu singkat. Empat hari kemudian dia mengunjungi The Alhambra lagi, kemudian keluar dengan sekantong permen. Dia tidak ingin mengakuinya, namun dia selalu ingin bertemu Mr. Aziz untuk memuaskan kebiasaannya.

Minggu demi minggu Bobby mengunjungi The Alhambra; kadang-kadang hanya dua kali, terkadang tiga kali seminggu. Setiap kali datang, Aziz menyambutnya dengan hangat seolah dia memang telah menunggunya.

Tapi Bobby tidak tahu… tidak tahu pasti apakah Aziz tertarik padanya… paling tidak, tidak seperti itu. Pria itu suka menyentuhnya, terkadang lengannya, bahunya, menepuk wajahnya, terkadang menggandengnya seperti anak kecil.

Tidak ada satu hal-pun yang terbersit dalam pikirannya akan hal ini. Dan dia selalu pulang membawa sesuatu.

***

“Jadi, apa yang Anda cari hari ini?” Tanya Aziz saat mereka bertemu beberapa minggu kemudian. “Coklat dari Madagaskar, mungkin? Hmmm, atau macadamia dari Hawai? Tidak, hmmm… apa ya…”

“Aku ingin sesuatu yang berbeda” Ungkap Bobby yang telah berusaha sangat keras agar tidak terdengar seperti ajakan untuk bercinta.

Aziz memicingkan matanya, dan selama beberapa saat, Bobby merasa dirinya telah membuat kesalahan besar, atau salah sangka terhadap pria itu.

Namun Aziz mengangguk, kemudian membulatkan bibirnya. “Baiklah, mungkin kami dapat memberikannya padamu.”

Kemudian Aziz mengambil tangannya dan membawanya masuk melewati tirai ungu yang sewarna dengan lautan kelam. Di balik tirai, setelah melewati lorong yang dipenuhi kardus dan kotak kosong, mereka sampai di depan sebuah pintu. Aziz, masih menggenggam tangan Bobby (yang sedikit khawatir karena basah oleh keringat), mengeluarkan kunci berornamen tulang dari saku jaketnya, lalu memasukkannya ke lubang pintu dan memutarnya.

Aziz menuntunnya melalui labirin koridor yang sangat gelap. Udara di sana terasa sedikit lembab, seperti hembusan napas yang keluar dari mulut yang telah lama tertutup.

Tepat ketika Bobby hendak bertanya mau ke mana mereka, sampailah mereka di hadapan tangga yang terbuat dari besi dan membentuk zig-zag. Kemudian mereka menaiki undakannya satu demi satu.

Sesampainya di atas, Aziz membuka pintu yang langsung menyibakkan sinar matahari yang sangat terang.

Bobby menutupi mata dengan tangannya saat Aziz membimbingnya berjalan melewati pintu.

Dia hampir kehabisan napas saat pertama kali masuk ke The Alhambra; dan kini dia benar-benar kehabisan napasnya.

Mereka berada di atap bangunan toko, tapi sulit untuk memastikannya.

Sebuah taman yang amat sangat indah terbentang di hadapan mereka, pohon-pohon yang cukup besar membendung pandangan ke langit dan menaunginya dari sinar matahari. Dan walaupun udara sebenarnya bersuhu 90 derajat, namun di sana, dengan udara yang berkabut, membuatnya bersuhu 15 derajat lebih rendah.

Aziz berjalan melewati jalan beraspal batu di tengah rerumputan ke meja di dekat air pancur.

“Bawakan minumannya!” seru Aziz sambil menepukkan tangannya saat mereka duduk. Seorang pemuda dengan kulit hitam dan mengenakan jubah putih muncul dari semacam pintu tersembunyi, kemudian berhenti di sebelah Aziz. “Haran, kami ingin kau mengambilkan minuman. Mungkin secangkir kopi? Atau soda?”

Bobby lalu menjawab dengan pelan, tampaknya dia masih kebingungan. “Apa ada Cola?”

Aziz tertawa. “Apa kami punya Cola? Hah! Kalau begitu Cola untuk Mr. Jenkins dan kopi untukku.”

Pemuda tersebut kemudian menghilang, dan Aziz memperhatikan Bobby yang terkagum-kagum karena hal-hal di sekitarnya.

“Indah, bukan?”

“Aku sudah pernah mendengar kebun di atas atap, tapi ini seperti taman di atas atap. Bagaimana Anda bisa membawa ini semua ke atas sini?”

Aziz melambaikan tangannya seolah tidak peduli. “Yang penting ini semua sudah ada di sini, dan kau pun ada di sini.”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu nikmati saja, Mr. Jenkins. Nikmati semua kesempatan yang diberikan dalam hidupmu, seperti aku.”

***

Haran kembali dengan nampan perak yang membawa segelas kopi dan sebuah gelas berisi es yang diletakkan di antara dua botol minuman. Pemuda itu menempatkan semuanya di atas meja, berdiri sejenak di sana sampai Aziz melambaikan tangannya.

“Cola,” ujar Aziz saat Bobby memperhatikan botol tersebut. “Diimpor dari Meksiko, di mana mereka masih membuatnya dengan gula tebu asli, bukan sirup jagung.”

Bobby menuangkan setengah botol ke dalam gelas. Cukup satu tegukan dan Bobby langsung dapat mengetahui bahwa dia tidak pernah meminum Cola yang dibuat di Meksiko. Rasanya dipenuhi dengan rasa manis yang sedikit menggigit.

“Rasanya enak.”

Aziz tersenyum sambil dia menaruh beberapa sendok gula ke dalam kopi hitamnya. “Akan ada kotak yang menunggumu di pintu depan. Anggap saja hadiah dariku.”

Bobby menyeruput soda-nya.

“Jadi, manisan macam apa yang Anda cari hari ini?” Tanya Aziz. Tatapannya sekali lagi menjadi serius.

“Sesuatu yang berbeda, unik… yang tidak dapat ditemukan di manapun.”

Aziz menyapu busa di kumisnya dengan sapu tangan.

“Apa yang dapat Anda rekomedasikan untuk saya? Permen termanis macam apa yang pernah Anda makan?”

Pemilik The Alhambra tersebut terdiam sebentar lalu menuangkan secangkir kopi lagi. “Tidak akan kuberitahu padamu, tapi akan kuberitahukan permen termanis yang pernah kubuat… permen yang paling menakutkan…”

“Menakutkan?”

“Benar. Apa Anda pernah mendengar tentang… manusia permen?” Tanya Aziz yang baru saja selesai menuangkan gula ke dalam kopi-nya.

“Tidak pernah.”

“Ahhh,” hela Aziz. “Sebenarnya itu adalah mayat manusia yang dilumuri dengan madu dan didiamkan selama kurun waktu tertentu sampai menjadi lembut. Dokter di Arab, Cina, dan Mesir telah menggunakan metode ini untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, tentu saja, tergantung dengan bagiam mana yang sakit.”

“Mayat manusia?” ulang Bobby. “Orang-orang memakannya?”

“Benar, tapi hanya manusia yang murni saja yang dapat dijadikan permen, hanya yang telah hidup dengan gaya hidup bersih dan sehat. Itu merupakan manisan yang paling langka dan murni. Dan berharga, amat sangat berharga.”

“Apa Anda pernah…?”

Alis mata Aziz naik dan wajahnya menjadi muram. “Kalau aku bilang tidak, kau tidak akan percaya padaku. Kalau aku bilang ‘iya’, kau akan ketakutan.”

“Tapi Anda tadi mengatakan cerita tersebut mengenai permen termanis yang pernah Anda buat.”

Aziz menuangkan kopi lagi dan memasukkan lebih banyak gula ke dalamnya. Kemudian dia mengaduk dan meneguknya dalam sekali tegukan. “Ketika aku masih muda, aku menolong ayah dan pamanku untuk membuat manusia permen. Saat itu merupakan pengalaman yang… unik. Pengalaman yang akan selalu kuingat.”

“Untuk apa Anda membuatnya?”

“Tentu saja kami membuatnya untuk para dokter yang kemudian akan meresepkannya kepada pasiennya… paling tidak pasien-pasien yang kaya. Dan agar para penggemar makanan manis sepertimu dapat menikmati kesempatan menyicipi rasa manis yang tak terhingga.”

Bobby menelan ludahnya. “Jadi, apakah Anda sudah pernah…”

“Sekarang hanya tersisa sebuah bagian kecil dari manusia permen tersebut,” ujar Aziz, mengabaikan pertanyaannya. “Bagian terakhir setelah empat puluh lima tahun. Hanya ujung jarinya saja. Aku telah menyimpannya selama lima tahun ini. Kurasa aku telah menyimpannya untukmu, Mr. Jenkins. Kurasa Anda-lah orang yang tepat.”

“Aku? Apa yang membuat Anda berpikir kalau saya ingin… memakan bagian mayat manusia?”

Aziz tersenyum. “Apakah keju adalah susu basi? Apakah sebotol wine tua hanya sekedar anggur yang membusuk? Tidak, prosesnya yang menjadikan mereka lebih dari itu, sama halnya dengan proses pelumuran yang membuat daging lebih dari sekedar daging.”

“Tapi keju dan anggur bukanlah mayat manusia. Jadi, tidak, terima kasih.”

Bobby berdiri dari kursinya dan berbalik mencoba menemukan jalan masuk mereka tadi.

Aziz masih duduk di sana, menuangkan segelas kopi lagi. “Kukira kita sama.”

“Aku juga.” Jawab Bobby. “Tapi tidak sama untuk urusan seperti itu.”

“Saya kira Anda adalah penggemar manisan, mungkin seorang pria yang dapat menghargai sisa terakhir dari sesuatu yang langka… sesuatu yang sakral.”

Bobby menatapnya, namun tidak berkata apapun.

“Anda tadi bilang bahwa Anda ingin sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak akan dapat Anda dapatkan di manapun.”

“Aku berbicara tentang permen yang tidak akan ada habisnya atau permen yang mempunyai rasa seperti makan malam lengkap. Bukan bagian manis dari mayat manusia. Terima kasih, Mr. Aziz. Tapi tidak, tidak untukku.”

Mr. Aziz masih tidak bergerak, dan untuk beberapa saat yang membuat Bobby berkeringat, dia berpikir mungkin ada konsekuensi karena mengatakan tidak. Namun Aziz hanya menggerakkan tangannya. Dengan segera, Haran muncul.

“Ajak Mr. Jenkins ke depan.”

Haran membungkuk dan meminta Bobby agar mengikutinya.

Mereka turun beberapa langkah melalui jalan berbatu, dan Mr. Aziz memanggilnya.

“Mr. Jenkins… pikirkanlah… pikirkanlah masak-masak. Itu adalah suatu kehormatan khusus yang kutawarkan padamu,” ujarnya. “Oh, dan jangan lupa sekotak Cola-mu. Haran akan menolong membawakannya ke mobilmu.”

***

Dua minggu pun berlalu.

Bobby menyibukkan dirinya dengan urusan di kantornya, kadang-kadang bekerja lembur, menahan diri untuk pergi ke The Alhambra selama mungkin.

Tapi dia tahu bahwa dia harus kembali ke sana, karena dia terus-terusan memimpikannya.

Di dalam mimpinya, dia duduk di meja di taman itu, Mr. Aziz di sampingnya, tersenyum… dan tersenyum…

Di hadapannya ada nampan emas dengan sebuah potongan tangan manusia di atasnya, terpotong pada bagian pergelangannya, tergeletak dengan telapak mengarah ke atas, jari-jarinya membengkok ke dalam. Tangan tersebut ditaruh dalam luapan cairan kental yang berwarna sawo matang.

Dalam mimpinya, dia menjepit tangan tersebut ke piringnya dengan garpu dan membuat irisan halus di bagian bawah jempolnya. Bagian dalam dagingnya berwarna keemasan, dan terasa padat.

Dia mengangkat garpunya, cairan keemasan menetes ke piringnya, menetes seperti kilauan matahari, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya.

Tepat saat dia hendak mengunyahnya, mimpinya berakhir.

Dia masih dapat mengingat teksturnya, padat seperti daging, lembut ketika digigit, melumer di mulutnya. Dia dapat merasakan rasa aneh yang tertinggal di mulutnya, sangat menghantuinya, manis dan kental dan…

…namun perlahan menghilang… menghilang…

Dia memimpikan hal yang sama tiga kali sebelum dia kembali ke The Alhambra.

***

“Ahhh, Mr. Jenkins,” Aziz menyambutnya saat dia masuk ke dalam toko. “Senang bertemu Anda lagi. Sudah lama sekali. Apa Anda menikmati Cola-nya?”

Bobby mengangguk, dia berkeringat walaupun udara di dalam sana, seperti biasa, dingin. “Iya, rasanya enak sekali. Tapi itu bukan… maksudku… itu bukan alasanku…”

Aziz menoleh padanya, dan Bobby melihat matanya berseri-seri.

“Tentu saja bukan. Anda ke sini untuk menikmati manusia permen seperti yang telah kuperkirakan,” ujar Aziz sambil tersenyum.

“Dengar,” kata Bobby, memastikan kalau pembicaraan mereka tidak dapat didengar orang lain. “Aku ada pertanyaan. Maksudku… apakah itu… legal? Berbahaya? Apa aku akan mampu membayarnya?”

Senyum Mr. Aziz melebar dan dia tertawa terbahak-bahak. “Iya, iya, dan iya, semuanya iya. Sekarang, ayo, mari kita ke atas untuk mengatur semuanya.”

***

Manusia permen mungkin satu-satunya permen yang pernah Bobby dengar membutuhkan serangkaian persiapan sebelum dapat memakannya.

“Anda harus menjaga tubuh Anda, terutama bentuk tubuh Anda,” ujar Aziz sambil menepuk perut Bobby yang berguncang-guncang dengan berat sekitar 15 pond sejak dia menemukan The Alhambra. “Khususnya selama 27 hari mendatang.”

“27 hari?” Tanya Bobby yang langsung terkejut. “Untuk apa?”

“Karena selama 27 hari mendatang Anda tidak boleh memakan apa-apa kecuali madu dan air putih. Tidak boleh roti, daging, ataupun alkohol. Hanya madu. Saya akan menyediakan semuanya.”

“Kedengarannya tidak sehat.”

“Buktinya lebah dapat melakukannya,” jawab Aziz. “Madu adalah makanan yang paling sempurna. Oleh karena itulah, badanmu harus penuh dengannya sebelum Anda dapat memakan manusia permen.”

“Dan berapa harga yang harus kubayarkan?” Tanya Bobby.

Aziz berkedip, mengerutkan dahinya, seolah dia belum terpikirkan akan hal ini. “Kira-kira… seribu dolar.”

“Seribu dolar? Hanya segitu? Untuk sesuatu yang langka dan tidak biasa? Dan terlebih lagi, bagian yang terakhir?”

Aziz tersenyum seperti seorang penjual narkoba. “Karena saya tahu bahwa Anda akan mendatangkan banyak keuntungan untuk saya di masa mendatang.”

***

Hari-hari pun berlalu, dan dia merasa segar, lebih baik daripada yang telah diperkirakannya; merasa lebih baik dibanding selama ini. Awalnya dia khawatir jika tidak akan cukup makan dan menjaga energinya, namun semua itu sepertinya tidak masalah. Dia membawa setoples madu di dalam kopornya, satu toples setiap harinya, menyendok sebagian madu setiap kali dia merasa lapar.

Sekarang dia pergi ke gym setiap hari, berolahraga paling sedikit dua jam. Dalam seminggu, sebagian besar berat badannya karena memakan permen dari The Alhambra telah menghilang. Seminggu kemudian tubuhnya telah sempurna.

Otot yang awalnya tidak terlihat sebelumnya kini terlihat sangat jelas melalui pakaiannya.

Bosnya memanggil ke ruangannya untuk mengatakan padanya bahwa beberapa rekan kerjanya melihat dia bekerja selama makan siang dan tidak memakan apapun kecuali sesendok penuh madu dan sebotol air mineral. Semua orang sudah mengetahui kebiasaannya memakan makanan manis, namun kini mereka pikir ada yang sangat salah dengannya.

Tapi Bobby meyakinkannya dan mereka semua (termasuk ibunya) kalau dia baik-baik saja… bahkan lebih baik dari itu. Dia amat sangat sehat. Tubuhnya sangat sehat.

“Mungkin kau sedang diet?” Tanya bosnya.

“Yeah, hanya sekedar diet.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Oke, kalau begitu, jaga dirimu. Kau sangat berharga.” Bobby maupun bos-nya tidak tahu betapa benarnya perkataan itu.

***

Tubuh Bobby gemetaran saat dia tiba, dia tidak tahu apakah itu bentuk antisipasi atau fakta bahwa setiap molekul di tubuhnya bergetar dengan frekuensi yang sangat cepat.

Haran membukakan pintu untuknya, membimbingnya ke taman di atas atap. Malam itu sangat dingin, musim panas mulai beralih menjadi musim gugur. Matahari sudah turun di kaki langit, membuatnya sewarna mawar. Tepat seperti di mimpinya, Mr. Aziz sedang duduk di meja.

“Saya senang Anda datang kemari,” sahutnya, lalu mendekat untuk memeluknya. Bobby menerima pelukannya, merasa kebingungan, lalu memeluknya juga. Dia dapat mencium aroma sisa cukurannya.

Aziz mengajaknya untuk duduk, lalu menyuruh Haran pergi agar mereka dapat berbincang berdua. “Jadi, kau sudah siap?”

“Ya, sangat.”

“Bagus sekali. Kalau begitu, mari kita mulai.”

“Kau ingin aku membayarmu sekarang? Aku membawa uangnya.” Bobby lalu mengeluarkan sebuah amplop putih polos.

Lagi-lagi Aziz terlihat terkejut. “Oh, ya, baiklah.” Dia mengambil amplopnya dan menaruhnya dengan sangat cekatan seperti seorang pesulap ke saku di dalam setelan gelapnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku yang sama lalu menaruhnya di atas meja.

“Bagian terakhir dari manusia permen.”

Kotak itu terlihat sederhana dan seukuran kotak korek api. Bobby menyentuh permukaan besi kotak tersebut, kemudian menaruhnya di telapak tangannya, lalu mengangkatnya. Dia membuka penutupnya. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk dapat mengetahui dengan jelas apa yang dilihatnya.

Bersarang di dalam kotak tersebut adalah benda yang telah berkerut seukuran permen karet.

Kuku yang masih menempel di sana membuktikan bahwa itu adalah ujung jari manusia.

Warnanya coklat keemasan, sewarna masakan Prancis yang dimasak dengan baik. Kukunya sedikit lebih panjang daripada jarinya, namun telah melunak dan lembut di ujungnya.

Aromanya sangat tajam; manis dan aromatis, semerbak bunga dan terasa sedikit tajam.

Bobby sangat terkejut sampai membuatnya mengeluarkan air liur.

Dia menyentuh jari tersebut sebentar. Rasanya lembut, tapi tidak seperti jelly; lembab tapi tidak basah; lengket tapi tidak merekat.

Dia mengangkatnya dari kotak sampai ke hidungnya.

Aromanya memabukkan, tercium olehnya semua aroma dari permen yang pernah dimakannya selama ini—coklat, licorice, almond, dan karamel.

Hampir tanpa ragu-ragu ia membuka mulutnya, menaruhnya di atas lidahnya, lalu menutup bibir dan matanya.

Dia tidak bergerak, tidak pula mengunyah, hanya membiarkannya di lidahnya sampai meleleh.

Rasanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Permen tersebut menghangatkan mulutnya, mengirim aliran rasa lezat ke seluruh permukaan lidahnya, aliran rasa madu, namun juga rasa yang lebih mendasar.

Daging… iya, benar… daging.

Perutnya mungkin ingin memaksanya untuk memuntahkan ujung jari tersebut ke atas meja, tapi tidak, dia tidak melakukannya karena rasanya amat sangat lezat.

Rasanya merupakan campuran dari berbagai macam rasa; rasa manis, rasa asin, rasa lezat…

…dan tidak ada lagi… tidak ada lagi yang terasa seperti ini sebelumnya.

Kemudian dia menggigitnya, dan daging tersebut berpindah, menempel di bawah giginya dengan rasa seperti tekstur karamel; awalnya padat, namun kemudian melunak.

Matanya masih tertutup, dia mengunyah. Mulutnya dipenuhi liur dan dia berusaha agar tidak menelannya, kalau dia menelannya, maka ini semua akan berakhir dengan cepat.

Kemudian semua itu benar-benar selesai saat potongan terakhirnya turun melalui tenggorokannya. Ada rasa daging busuk yang bertahan sebentar. Namun itu tertutupi oleh ledakan aroma bunga yang manis—rasanya seperti kembang gula.

Kemudian dia berpikir, berpikir di saat-saat terakhir tersebut, bahwa seperti inilah rasa bunga yang dirasakan oleh lebah yang membuat madu; sari madunya, kemurniannya, dan terasa manis oleh aromanya.

Dia menelan bagian akhirnya, kemudian melihat Mr. Aziz.

Ada air mata turun dari matanya.

“Terima kasih… ya, Tuhan… terima kasih.”

“Terima kasih,” Aziz balik tersenyum kepadanya. “Kau tidak tahu betapa bahagianya aku saat ini.”

Bobby tidak tahu lagi jam berapa sekarang, dia tidak tahu sudah berapa lama dia duduk di sana.

“Aku merasa… tidak ada lagi yang dapat melebihi pengalaman ini. Seolah ini adalah akhir untukku dan semua makanan manis.”

“Oh,” Aziz tersenyum, kemudian mengambil kembali kotaknya, lalu menutupnya dan menaruhnya kembali di dalam saku jaketnya. “Kalau aku jadi kau, aku tidak akan mengatakan itu.”

***

Pagi harinya, Bobby terbangun dan merasa aneh.

Dia duduk di pinggir ranjang sebentar, mencoba mencari tahu apa yang aneh.

Kemudian dia tersadar; energi aneh yang telah merasukinya selama sebulan terakhir ini telah lenyap. Sekarang digantikan oleh kekakuan di dalam dirinya seolah darahnya terlalu kental untuk dapat mengalir di pembuluh darahnya.

Ada pula sebuah rasa di mulutnya, sebuah rasa yang tidak mengenakkan, terasa seperti sesuatu yang busuk seolah giginya terinfeksi.

Rasanya seperti daging mayat yang manis.

Bobby lalu menyibakkan selimutnya dan berdiri, kemudian pergi ke kamar mandi dan melihat ke kaca di atas wastafel. Wajahnya menggembung, matanya muram, dia terlihat seperti orang yang mabuk berat.

Namun ada sesuatu yang amat sangat salah, mungkin karena pencahayaan di kamar mandinya.

Kulitnya berwarna kuning gelap. Bahkan putih matanya berwarna keemasan, telapaknya, kuku jarinya.

Dengan menggelengkan kepalanya, dia melangkah ke toilet dan mencoba untuk buang air kecil.

Hampir satu menit berlalu. Dia membuka matanya, lalu melihat ke bawah. Dari tadi tidak ada air yang keluar.

Ada sesuatu di dalam kandung kemihnya, terasa seperti aliran sebuah cairan.

Kemudian muncullah rasa perih, perih yang sangat tiba-tiba, sangat kuat sehingga kakinya berguncang-guncang, lututnya pun menekuk. Perutnya keram, dan dia merasa seolah mengeluarkan tali yang terbuat dari api.

Dia berharap melihat darah di toilet, tapi yang dilihatnya bahkan lebih buruk dari itu.

Dia berhasil kencing, namun itu bukanlah aliran urin yang biasa dikeluarkannya.

Itu adalah aliran keemasan kental yang bergerak perlahan seperti sirup.

Dan rasanya sangat sakit, terlalu kental untuk dapat dikeluarkan.

Cairan tersebut jatuh ke dalam toilet, lalu melingkar di dasarnya.

Saat bulir-bulir keringat mulai membasahi dahinya, baunya mulai tercium olehnya; semerbak bunga, dan manis.

Sambil bergetar kesakitan dan ketakutan, dia mencolet sebagian dengan jarinya lalu mengecapnya.

Madu… dia kencing madu.

Saat dia tersadar akan hal ini, sebuah gelombang rasa sakit membuncah di perutnya, membuatnya tersungkur ke lantai toilet yang dingin.

Saat kesadarannya mulai menurun, dia teringat dengan seribu dolar yang diberikannya pada Aziz.

Dia dulu berpikir betapa murah harganya.

***

Toko permen tersebut belum buka, tapi dia tidak peduli. Dia memarkirkan mobilnya di perhentian di depan jendela kaca toko tersebut. Sambil mengintip melalui tirai di balik jendela dia tahu bahwa tokonya sudah kosong dan lampunya padam.

“Aziz!” teriaknya, sambil memukul-mukul jeruji besi di jendelanya.  “Aziz! buka pintunya!”

Orang-orang yang lewat di sana semua menoleh ke arahnya. Dia tidak sempat berpakaian, jadi dia masih mengenakan celana pendek dan kaus yang dibawanya tidur semalam.

Haran dengan mata melebar membuka kunci pintunya.

“Mr. Jenkins?” tanyanya terkejut. “Ada yang dapat saya…”

“Aziz,” gumam Bobby. “Ingin bertemu dengannya.”

Dia menyeret tubuhnya melewati Haran yang kembali menutup pintunya.

Bobby tersandung-sandung saat melewati ruangannya yang gelap dan menabrak seluruh pajangan permen.

“Mari,” kata Haran sambil mengambil lengannya. “Biar saya bantu.”

***

Di taman, Bobby bergerak secepat mungkin menuju Aziz yang sedang duduk di meja sambil meminum kopi.

Saat Bobby mendekat, Aziz melihatnya, sama sekali tidak terkejut melihatnya.

“Atheeth,” teriak Bobby melalui tenggorokannya yang telah parau dan mengerut. “Apha yhang thelah khau lhakhukan phadhakhu?”

Mr. Aziz menyambutnya dengan riang, matanya berbinar-binar seperti saat pertama kali mereka bertemu.

“Kau benar-benar orang yang sangat tepat, Mr. Jenkins,” ujarnya. “Kita memang sejenis.”

Bobby kini menjadi sulit bernapas, paru-parunya seolah terisi oleh cairan kental.

“Apha?”

“Pembuat permen dan permennya. Apa… maksudmu kau tidak pernah menyadarinya?”

Bobby merasakan air mata seperti sirup merembes dari matanya, lalu bergulir di pipinya. Ketika menyentuh mulutnya, dia tidak terkejut kalau terasa manis.

“Bagian terakhir manusia permen biasanya digunakan untuk membuat manusia permen yang baru,” Aziz menjelaskan, dia kemudian berdiri dan mendekatinya. Dia mengambil tangan Bobby. Tangannya membengkak dan berwarna coklat keemasan.

Bobby melihat Aziz mengeluarkan belati yang membengkok dengan tajam dari jaketnya.

“Ini tidak akan sakit… tidak sedikit pun, lihat saja.”

Pisau itu masuk ke dalam dadanya dengan perlahan dan saat Bobby merasakannya masuk ke dalam tubuhnya, dia tidak merasa sakit, seperti yang dijanjikan Aziz. Dan dari luka tersebut keluarlah madu.

Samar-samar dia melihat Haran membawa kotak kayu, kemudian mereka memasukkannya ke dalam sana.

“Maaf, tapi peti kayu ini hanya untuk sementara,” Aziz meminta maaf. “Beberapa hari setelah perubahannya selesai dan kau telah mati, kami akan menempatkanmu ke sarkofagus batu, lalu menutupimu dengan madu. Di sanalah kau akan terendam selama setahun sebelum…”

Aziz mengulurkan tangannya lalu menyentuh pipinya.

Bobby merasakan air mata menjalar turun di kedua sisi wajahnya, terbendung di telinganya.

“Kau akan menolong banyak orang,” ujarnya, matanya besar, basah, dan terlihat hampir seperti mengasihani.

Bobby mencoba mengatakan sesuatu, untuk memohon, tapi tidak ada yang dapat keluar dari mulutnya sekarang; tidak ada kata-kata; setumpuk madu mengalir sampai ke bawah dagunya.

Aziz memberikannya senyuman terakhir. “Kau adalah pelanggan yang manis, Mr. Jenkins, mungkin yang termanis. Sekarang kau akan menjadi permen termanis yang pernah kubuat, juga yang paling menakutkan.”

Penutup petinya menutupi wajah Bobby, dan kegelapan pun menyelimutinya, kegelapan yang tebal seperti madu.
Sumber :
http://cerpenmancanegara.blogspot.com/

1 comment:

  1. cerpen ini udah tamat atau msh bersambung lg kaks..? :)

    ReplyDelete