John F.D. Taff
The Mellified Man (Manusia Permen)
Permen termanis macam apa yang pernah
kalian makan?
Aku tidak akan mengatakannya padamu,
tapi akan kuberitahukan permen termanis yang pernah kubuat, permen yang paling
mengerikan.
Ini
semua berkat kebiasaan Bobby memakan makanan yang manis.
Sebuah
ratapan permintaan maaf dari semua orang yang teserang diabetes, orang yang
kelebihan berat badan, anak kecil dengan bentuk tubuh jelek yang menyembunyikan
permen di balik lemari celana dalamnya.
Permen
merupakan roti dan penyangga hidupnya. Menikmati es krim saat makan siang merupakan
hal yang lumrah baginya, daripada memakan santapan makan siang biasa, atau
memakan kue saat makan malam.
Namun
dia tidaklah gendut atau berbadan besar, seperti sebutan ibunya untuk kakaknya.
Dia tidak terkena diabetes, dan giginya terlihat sangat bagus untuk ukuran pria
yang berumur 31 tahun. Bobby Jenkins, pada kenyataannya, merupakan manusia yang
paling dekat dengan istilah sempurna. Kecuali, tentu saja, kebiasaannya memakan
makanan yang manis dan fakta bahwa dia lebih menyukai laki-laki daripada perempuan;
hanya itulah kekurangannya.
Dia
sering berenang, berolahraga, bermain bola tangan dan bola raket di klub, dan
berjalan di atas treadmill. Dia tidak merokok, minum, atau memakan banyak
daging.
Ahh,
namun gula pasir merupakan heroin, kokain, dan obat methamphetamine yang
dicampur menjadi satu baginya.
Dan
seperti pecandu-pecandu lainnya, dia segan untuk berhenti mengonsumsinya.
Dan
seperti pecandu-pecandu lainnya, hidupnya didominasi oleh hal itu.
Dan
seperti pecandu-pecandu lainnya pula, hidupnya pun akan diakhiri oleh itu.
***
Bobby
sedang menikmati makan siangnya sambil membaca dengan tekun koran yang
menyajikan berita tentang merger bisnis yang sedang dikerjakannya. Saat itulah
dia mendengar nama The Alhambra, sebuah toko permen yang baru dibuka di
kotanya. Karena tempatnya dekat, dia memutuskan untuk mengunjungi tempat
tersebut.
Toko
tersebut sangat besar dan bangunannya memperlihatkan susunan batu bata merah,
berlantai tiga, dan meliputi keseluruhan blok kota. Bagian depan lantai satu dijajari
dengan jendela kaca yang memperlihatkan pajangan di dalamnya. Papan namanya pun
dibuat dengan sangat bergaya.
Bobby
memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam toko. Di luar udara terasa sangat
panas, namun di dalam udaranya sejuk.
Baru
dua langkah dari pintu masuk, Bobby langsung terpukau. Dia telah menemukan
surganya.
Bagian
dalam toko tersebut didominasi oleh warna gelap yang menyelimuti hampir seluruh
bagian dinding. Wallpaper dengan desain Moor berbalut warna merah dan emas
terhampar dari permukaan sampai ke atapnya. Pajangan dan kotak wadah diterangi
oleh lampu gantung. Kain sutera menyelimuti atapnya—lagi-lagi berwarna merah
dan emas, namun juga terdapat sedikit warna biru tua, hijau, dan ungu
kehitaman.
Namun
koleksi permen-nya lah yang menarik perhatian Bobby.
Di
salah satu sisi ruang yang panjang dan sempit di sana terdapat semua jenis
kembang gula dan permen; licorice dan lollipop, permen karet dan permen tangkai
diletakkan di sebuah toples; bola popcorn dan permen apel, jelly beans dan
semua jenis permen penny. Di sana bahkan ada bagian yang memajang segala jenis
permen yang dapat kalian temukan di toko swalayan atau pom bensin.
Di
tengah ruangan, di mana Bobby berdiri sambil ternganga, terdapat segala jenis
coklat dengan bermacam-macam bentuk dan warna. Di dekatnya ada coklat-coklat
batang yang tidak terbungkus, ditumpuk seperti batangan-batangan emas. Ada pula
berikat-ikat coklat yang sangat hitam seolah baru saja diambil dari bahan dasar
yang membuat malam. Aroma coklatnya saja sudah sangat memabukkan.
Di
sisi lain toko tersebut terdapat permen yang tidak biasa. Di sana terdapat
permen pastill dari Prancis, permen beras Botan dari Jepang, permen maple dari
Kanada, bahkan sekotak besar coklat yang dibalut ulat, jangkrik, dan telur
serangga dari Meksiko, dan semacam permen ikan kering dari Norwegia.
“Ahhh,
Anda terlihat sangat terpesona.” Datanglah sebuah suara, dengan nada baritone
dan aksen yang kabur. “Saya sendiri juga terpesona… dan saya-lah pemilik tempat
ini.”
Bobby
berpaling dan melihat seorang pria yang mungkin keturunan Spanyol atau Arab.
Dia lebih pendek dari Bobby, dengan wajah yang seolah dipahat dari kayu hitam
di ruangan tersebut. Umurnya mungkin sekitar 45 atau 55; sulit untuk
memastikannya. Sebuah kumis yang sangat indah bertengger di bawah bibirnya dan
rambutnya pun sama saja, dengan sedikit uban di sana-sini.
“Anda
sepertinya… orang yang sangat beruntung di kota ini.” Ujar Bobby yang masih
terlihat tidak sadarkan diri.
Pria
itu lalu tertawa, sebuah ledakan tawa yang membahana ke seluruh ruangan, dan
menarik perhatian dari pelanggan yang lain.
“Saya
tahu kalau kita sama ketika Anda pertama kali masuk tadi,” kekehnya. Kata-kata
tersebut dan caranya tertawa yang menarik perhatian membuat Bobby sedikit
merinding.
“Nama
saya Afaz Aziz. Pemilik The Alhambra. Ayo kemari, apa yang dapat aku
perlihatkan kepadamu?” Tanyanya. “Atau lebih tepatnya, apa yang dapat kuberikan
padamu?”
Mr.
Aziz mengatakan ini dengan gaya seorang penjual narkoba; dan seperti pecandu
obat-obatan lainnya, Bobby mengikutinya.
***
Sekantong
permen yang dibelinya di The Alhambra siang itu langsung dihabiskannya dalam
waktu singkat. Empat hari kemudian dia mengunjungi The Alhambra lagi, kemudian
keluar dengan sekantong permen. Dia tidak ingin mengakuinya, namun dia selalu
ingin bertemu Mr. Aziz untuk memuaskan kebiasaannya.
Minggu
demi minggu Bobby mengunjungi The Alhambra; kadang-kadang hanya dua kali,
terkadang tiga kali seminggu. Setiap kali datang, Aziz menyambutnya dengan
hangat seolah dia memang telah menunggunya.
Tapi
Bobby tidak tahu… tidak tahu pasti apakah Aziz tertarik padanya… paling tidak,
tidak seperti itu. Pria itu suka menyentuhnya, terkadang lengannya, bahunya,
menepuk wajahnya, terkadang menggandengnya seperti anak kecil.
Tidak
ada satu hal-pun yang terbersit dalam pikirannya akan hal ini. Dan dia selalu pulang
membawa sesuatu.
***
“Jadi,
apa yang Anda cari hari ini?” Tanya Aziz saat mereka bertemu beberapa minggu
kemudian. “Coklat dari Madagaskar, mungkin? Hmmm, atau macadamia dari Hawai?
Tidak, hmmm… apa ya…”
“Aku
ingin sesuatu yang berbeda” Ungkap Bobby yang telah berusaha sangat keras agar
tidak terdengar seperti ajakan untuk bercinta.
Aziz
memicingkan matanya, dan selama beberapa saat, Bobby merasa dirinya telah
membuat kesalahan besar, atau salah sangka terhadap pria itu.
Namun
Aziz mengangguk, kemudian membulatkan bibirnya. “Baiklah, mungkin kami dapat
memberikannya padamu.”
Kemudian
Aziz mengambil tangannya dan membawanya masuk melewati tirai ungu yang sewarna
dengan lautan kelam. Di balik tirai, setelah melewati lorong yang dipenuhi
kardus dan kotak kosong, mereka sampai di depan sebuah pintu. Aziz, masih
menggenggam tangan Bobby (yang sedikit khawatir karena basah oleh keringat),
mengeluarkan kunci berornamen tulang dari saku jaketnya, lalu memasukkannya ke
lubang pintu dan memutarnya.
Aziz
menuntunnya melalui labirin koridor yang sangat gelap. Udara di sana terasa
sedikit lembab, seperti hembusan napas yang keluar dari mulut yang telah lama
tertutup.
Tepat
ketika Bobby hendak bertanya mau ke mana mereka, sampailah mereka di hadapan
tangga yang terbuat dari besi dan membentuk zig-zag. Kemudian mereka menaiki
undakannya satu demi satu.
Sesampainya
di atas, Aziz membuka pintu yang langsung menyibakkan sinar matahari yang
sangat terang.
Bobby
menutupi mata dengan tangannya saat Aziz membimbingnya berjalan melewati pintu.
Dia
hampir kehabisan napas saat pertama kali masuk ke The Alhambra; dan kini dia benar-benar
kehabisan napasnya.
Mereka
berada di atap bangunan toko, tapi sulit untuk memastikannya.
Sebuah
taman yang amat sangat indah terbentang di hadapan mereka, pohon-pohon yang
cukup besar membendung pandangan ke langit dan menaunginya dari sinar matahari.
Dan walaupun udara sebenarnya bersuhu 90 derajat, namun di sana, dengan udara
yang berkabut, membuatnya bersuhu 15 derajat lebih rendah.
Aziz
berjalan melewati jalan beraspal batu di tengah rerumputan ke meja di dekat air
pancur.
“Bawakan
minumannya!” seru Aziz sambil menepukkan tangannya saat mereka duduk. Seorang
pemuda dengan kulit hitam dan mengenakan jubah putih muncul dari semacam pintu
tersembunyi, kemudian berhenti di sebelah Aziz. “Haran, kami ingin kau
mengambilkan minuman. Mungkin secangkir kopi? Atau soda?”
Bobby
lalu menjawab dengan pelan, tampaknya dia masih kebingungan. “Apa ada Cola?”
Aziz
tertawa. “Apa kami punya Cola? Hah! Kalau begitu Cola untuk Mr. Jenkins dan
kopi untukku.”
Pemuda
tersebut kemudian menghilang, dan Aziz memperhatikan Bobby yang terkagum-kagum
karena hal-hal di sekitarnya.
“Indah,
bukan?”
“Aku
sudah pernah mendengar kebun di atas atap, tapi ini seperti taman di atas atap.
Bagaimana Anda bisa membawa ini semua ke atas sini?”
Aziz
melambaikan tangannya seolah tidak peduli. “Yang penting ini semua sudah ada di
sini, dan kau pun ada di sini.”
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu nikmati saja, Mr. Jenkins. Nikmati semua kesempatan yang diberikan dalam
hidupmu, seperti aku.”
***
Haran
kembali dengan nampan perak yang membawa segelas kopi dan sebuah gelas berisi
es yang diletakkan di antara dua botol minuman. Pemuda itu menempatkan semuanya
di atas meja, berdiri sejenak di sana sampai Aziz melambaikan tangannya.
“Cola,”
ujar Aziz saat Bobby memperhatikan botol tersebut. “Diimpor dari Meksiko, di
mana mereka masih membuatnya dengan gula tebu asli, bukan sirup jagung.”
Bobby
menuangkan setengah botol ke dalam gelas. Cukup satu tegukan dan Bobby langsung
dapat mengetahui bahwa dia tidak pernah meminum Cola yang dibuat di Meksiko.
Rasanya dipenuhi dengan rasa manis yang sedikit menggigit.
“Rasanya
enak.”
Aziz
tersenyum sambil dia menaruh beberapa sendok gula ke dalam kopi hitamnya. “Akan
ada kotak yang menunggumu di pintu depan. Anggap saja hadiah dariku.”
Bobby
menyeruput soda-nya.
“Jadi,
manisan macam apa yang Anda cari hari ini?” Tanya Aziz. Tatapannya sekali lagi
menjadi serius.
“Sesuatu
yang berbeda, unik… yang tidak dapat ditemukan di manapun.”
Aziz
menyapu busa di kumisnya dengan sapu tangan.
“Apa
yang dapat Anda rekomedasikan untuk saya? Permen termanis macam apa yang pernah
Anda makan?”
Pemilik
The Alhambra tersebut terdiam sebentar lalu menuangkan secangkir kopi lagi.
“Tidak akan kuberitahu padamu, tapi akan kuberitahukan permen termanis yang
pernah kubuat… permen yang paling menakutkan…”
“Menakutkan?”
“Benar.
Apa Anda pernah mendengar tentang… manusia permen?” Tanya Aziz yang baru saja
selesai menuangkan gula ke dalam kopi-nya.
“Tidak
pernah.”
“Ahhh,”
hela Aziz. “Sebenarnya itu adalah mayat manusia yang dilumuri dengan madu dan
didiamkan selama kurun waktu tertentu sampai menjadi lembut. Dokter di Arab,
Cina, dan Mesir telah menggunakan metode ini untuk menyembuhkan penyakit-penyakit
tertentu, tentu saja, tergantung dengan bagiam mana yang sakit.”
“Mayat
manusia?” ulang Bobby. “Orang-orang memakannya?”
“Benar,
tapi hanya manusia yang murni saja yang dapat dijadikan permen, hanya yang
telah hidup dengan gaya hidup bersih dan sehat. Itu merupakan manisan yang
paling langka dan murni. Dan berharga, amat sangat berharga.”
“Apa
Anda pernah…?”
Alis
mata Aziz naik dan wajahnya menjadi muram. “Kalau aku bilang tidak, kau tidak
akan percaya padaku. Kalau aku bilang ‘iya’, kau akan ketakutan.”
“Tapi
Anda tadi mengatakan cerita tersebut mengenai permen termanis yang pernah Anda
buat.”
Aziz
menuangkan kopi lagi dan memasukkan lebih banyak gula ke dalamnya. Kemudian dia
mengaduk dan meneguknya dalam sekali tegukan. “Ketika aku masih muda, aku
menolong ayah dan pamanku untuk membuat manusia permen. Saat itu merupakan
pengalaman yang… unik. Pengalaman yang akan selalu kuingat.”
“Untuk
apa Anda membuatnya?”
“Tentu
saja kami membuatnya untuk para dokter yang kemudian akan meresepkannya kepada
pasiennya… paling tidak pasien-pasien yang kaya. Dan agar para penggemar
makanan manis sepertimu dapat menikmati kesempatan menyicipi rasa manis yang
tak terhingga.”
Bobby
menelan ludahnya. “Jadi, apakah Anda sudah pernah…”
“Sekarang
hanya tersisa sebuah bagian kecil dari manusia permen tersebut,” ujar Aziz,
mengabaikan pertanyaannya. “Bagian terakhir setelah empat puluh lima tahun.
Hanya ujung jarinya saja. Aku telah menyimpannya selama lima tahun ini. Kurasa
aku telah menyimpannya untukmu, Mr. Jenkins. Kurasa Anda-lah orang yang tepat.”
“Aku?
Apa yang membuat Anda berpikir kalau saya ingin… memakan bagian mayat manusia?”
Aziz
tersenyum. “Apakah keju adalah susu basi? Apakah sebotol wine tua hanya sekedar
anggur yang membusuk? Tidak, prosesnya yang menjadikan mereka lebih dari itu,
sama halnya dengan proses pelumuran yang membuat daging lebih dari sekedar
daging.”
“Tapi
keju dan anggur bukanlah mayat manusia. Jadi, tidak, terima kasih.”
Bobby
berdiri dari kursinya dan berbalik mencoba menemukan jalan masuk mereka tadi.
Aziz
masih duduk di sana, menuangkan segelas kopi lagi. “Kukira kita sama.”
“Aku
juga.” Jawab Bobby. “Tapi tidak sama untuk urusan seperti itu.”
“Saya
kira Anda adalah penggemar manisan, mungkin seorang pria yang dapat menghargai
sisa terakhir dari sesuatu yang langka… sesuatu yang sakral.”
Bobby
menatapnya, namun tidak berkata apapun.
“Anda
tadi bilang bahwa Anda ingin sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak akan dapat
Anda dapatkan di manapun.”
“Aku
berbicara tentang permen yang tidak akan ada habisnya atau permen yang
mempunyai rasa seperti makan malam lengkap. Bukan bagian manis dari mayat
manusia. Terima kasih, Mr. Aziz. Tapi tidak, tidak untukku.”
Mr.
Aziz masih tidak bergerak, dan untuk beberapa saat yang membuat Bobby
berkeringat, dia berpikir mungkin ada konsekuensi karena mengatakan tidak.
Namun Aziz hanya menggerakkan tangannya. Dengan segera, Haran muncul.
“Ajak
Mr. Jenkins ke depan.”
Haran
membungkuk dan meminta Bobby agar mengikutinya.
Mereka
turun beberapa langkah melalui jalan berbatu, dan Mr. Aziz memanggilnya.
“Mr.
Jenkins… pikirkanlah… pikirkanlah masak-masak. Itu adalah suatu kehormatan
khusus yang kutawarkan padamu,” ujarnya. “Oh, dan jangan lupa sekotak Cola-mu.
Haran akan menolong membawakannya ke mobilmu.”
***
Dua
minggu pun berlalu.
Bobby
menyibukkan dirinya dengan urusan di kantornya, kadang-kadang bekerja lembur,
menahan diri untuk pergi ke The Alhambra selama mungkin.
Tapi
dia tahu bahwa dia harus kembali ke sana, karena dia terus-terusan
memimpikannya.
Di
dalam mimpinya, dia duduk di meja di taman itu, Mr. Aziz di sampingnya,
tersenyum… dan tersenyum…
Di
hadapannya ada nampan emas dengan sebuah potongan tangan manusia di atasnya,
terpotong pada bagian pergelangannya, tergeletak dengan telapak mengarah ke
atas, jari-jarinya membengkok ke dalam. Tangan tersebut ditaruh dalam luapan
cairan kental yang berwarna sawo matang.
Dalam
mimpinya, dia menjepit tangan tersebut ke piringnya dengan garpu dan membuat
irisan halus di bagian bawah jempolnya. Bagian dalam dagingnya berwarna
keemasan, dan terasa padat.
Dia
mengangkat garpunya, cairan keemasan menetes ke piringnya, menetes seperti
kilauan matahari, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya.
Tepat
saat dia hendak mengunyahnya, mimpinya berakhir.
Dia
masih dapat mengingat teksturnya, padat seperti daging, lembut ketika digigit,
melumer di mulutnya. Dia dapat merasakan rasa aneh yang tertinggal di mulutnya,
sangat menghantuinya, manis dan kental dan…
…namun
perlahan menghilang… menghilang…
Dia
memimpikan hal yang sama tiga kali sebelum dia kembali ke The Alhambra.
***
“Ahhh,
Mr. Jenkins,” Aziz menyambutnya saat dia masuk ke dalam toko. “Senang bertemu
Anda lagi. Sudah lama sekali. Apa Anda menikmati Cola-nya?”
Bobby
mengangguk, dia berkeringat walaupun udara di dalam sana, seperti biasa,
dingin. “Iya, rasanya enak sekali. Tapi itu bukan… maksudku… itu bukan alasanku…”
Aziz
menoleh padanya, dan Bobby melihat matanya berseri-seri.
“Tentu
saja bukan. Anda ke sini untuk menikmati manusia permen seperti yang telah
kuperkirakan,” ujar Aziz sambil tersenyum.
“Dengar,”
kata Bobby, memastikan kalau pembicaraan mereka tidak dapat didengar orang
lain. “Aku ada pertanyaan. Maksudku… apakah itu… legal? Berbahaya? Apa aku akan
mampu membayarnya?”
Senyum
Mr. Aziz melebar dan dia tertawa terbahak-bahak. “Iya, iya, dan iya, semuanya
iya. Sekarang, ayo, mari kita ke atas untuk mengatur semuanya.”
***
Manusia
permen mungkin satu-satunya permen yang pernah Bobby dengar membutuhkan
serangkaian persiapan sebelum dapat memakannya.
“Anda
harus menjaga tubuh Anda, terutama bentuk tubuh Anda,” ujar Aziz sambil menepuk
perut Bobby yang berguncang-guncang dengan berat sekitar 15 pond sejak dia
menemukan The Alhambra. “Khususnya selama 27 hari mendatang.”
“27
hari?” Tanya Bobby yang langsung terkejut. “Untuk apa?”
“Karena
selama 27 hari mendatang Anda tidak boleh memakan apa-apa kecuali madu dan air
putih. Tidak boleh roti, daging, ataupun alkohol. Hanya madu. Saya akan menyediakan
semuanya.”
“Kedengarannya
tidak sehat.”
“Buktinya
lebah dapat melakukannya,” jawab Aziz. “Madu adalah makanan yang paling
sempurna. Oleh karena itulah, badanmu harus penuh dengannya sebelum Anda dapat
memakan manusia permen.”
“Dan
berapa harga yang harus kubayarkan?” Tanya Bobby.
Aziz
berkedip, mengerutkan dahinya, seolah dia belum terpikirkan akan hal ini.
“Kira-kira… seribu dolar.”
“Seribu
dolar? Hanya segitu? Untuk sesuatu yang langka dan tidak biasa? Dan terlebih
lagi, bagian yang terakhir?”
Aziz
tersenyum seperti seorang penjual narkoba. “Karena saya tahu bahwa Anda akan
mendatangkan banyak keuntungan untuk saya di masa mendatang.”
***
Hari-hari
pun berlalu, dan dia merasa segar, lebih baik daripada yang telah
diperkirakannya; merasa lebih baik dibanding selama ini. Awalnya dia khawatir
jika tidak akan cukup makan dan menjaga energinya, namun semua itu sepertinya
tidak masalah. Dia membawa setoples madu di dalam kopornya, satu toples setiap
harinya, menyendok sebagian madu setiap kali dia merasa lapar.
Sekarang
dia pergi ke gym setiap hari, berolahraga paling sedikit dua jam. Dalam
seminggu, sebagian besar berat badannya karena memakan permen dari The Alhambra
telah menghilang. Seminggu kemudian tubuhnya telah sempurna.
Otot
yang awalnya tidak terlihat sebelumnya kini terlihat sangat jelas melalui
pakaiannya.
Bosnya
memanggil ke ruangannya untuk mengatakan padanya bahwa beberapa rekan kerjanya
melihat dia bekerja selama makan siang dan tidak memakan apapun kecuali
sesendok penuh madu dan sebotol air mineral. Semua orang sudah mengetahui
kebiasaannya memakan makanan manis, namun kini mereka pikir ada yang sangat
salah dengannya.
Tapi
Bobby meyakinkannya dan mereka semua (termasuk ibunya) kalau dia baik-baik
saja… bahkan lebih baik dari itu. Dia amat sangat sehat. Tubuhnya sangat sehat.
“Mungkin
kau sedang diet?” Tanya bosnya.
“Yeah,
hanya sekedar diet.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Oke,
kalau begitu, jaga dirimu. Kau sangat berharga.” Bobby maupun bos-nya tidak
tahu betapa benarnya perkataan itu.
***
Tubuh
Bobby gemetaran saat dia tiba, dia tidak tahu apakah itu bentuk antisipasi atau
fakta bahwa setiap molekul di tubuhnya bergetar dengan frekuensi yang sangat
cepat.
Haran
membukakan pintu untuknya, membimbingnya ke taman di atas atap. Malam itu
sangat dingin, musim panas mulai beralih menjadi musim gugur. Matahari sudah
turun di kaki langit, membuatnya sewarna mawar. Tepat seperti di mimpinya, Mr.
Aziz sedang duduk di meja.
“Saya
senang Anda datang kemari,” sahutnya, lalu mendekat untuk memeluknya. Bobby
menerima pelukannya, merasa kebingungan, lalu memeluknya juga. Dia dapat
mencium aroma sisa cukurannya.
Aziz
mengajaknya untuk duduk, lalu menyuruh Haran pergi agar mereka dapat berbincang
berdua. “Jadi, kau sudah siap?”
“Ya,
sangat.”
“Bagus
sekali. Kalau begitu, mari kita mulai.”
“Kau
ingin aku membayarmu sekarang? Aku membawa uangnya.” Bobby lalu mengeluarkan
sebuah amplop putih polos.
Lagi-lagi
Aziz terlihat terkejut. “Oh, ya, baiklah.” Dia mengambil amplopnya dan
menaruhnya dengan sangat cekatan seperti seorang pesulap ke saku di dalam
setelan gelapnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku yang sama lalu
menaruhnya di atas meja.
“Bagian
terakhir dari manusia permen.”
Kotak
itu terlihat sederhana dan seukuran kotak korek api. Bobby menyentuh permukaan
besi kotak tersebut, kemudian menaruhnya di telapak tangannya, lalu
mengangkatnya. Dia membuka penutupnya. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk
dapat mengetahui dengan jelas apa yang dilihatnya.
Bersarang
di dalam kotak tersebut adalah benda yang telah berkerut seukuran permen karet.
Kuku
yang masih menempel di sana membuktikan bahwa itu adalah ujung jari manusia.
Warnanya
coklat keemasan, sewarna masakan Prancis yang dimasak dengan baik. Kukunya sedikit
lebih panjang daripada jarinya, namun telah melunak dan lembut di ujungnya.
Aromanya
sangat tajam; manis dan aromatis, semerbak bunga dan terasa sedikit tajam.
Bobby
sangat terkejut sampai membuatnya mengeluarkan air liur.
Dia
menyentuh jari tersebut sebentar. Rasanya lembut, tapi tidak seperti jelly;
lembab tapi tidak basah; lengket tapi tidak merekat.
Dia
mengangkatnya dari kotak sampai ke hidungnya.
Aromanya
memabukkan, tercium olehnya semua aroma dari permen yang pernah dimakannya
selama ini—coklat, licorice, almond, dan karamel.
Hampir
tanpa ragu-ragu ia membuka mulutnya, menaruhnya di atas lidahnya, lalu menutup
bibir dan matanya.
Dia
tidak bergerak, tidak pula mengunyah, hanya membiarkannya di lidahnya sampai
meleleh.
Rasanya
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Permen tersebut menghangatkan
mulutnya, mengirim aliran rasa lezat ke seluruh permukaan lidahnya, aliran rasa
madu, namun juga rasa yang lebih mendasar.
Daging…
iya, benar… daging.
Perutnya
mungkin ingin memaksanya untuk memuntahkan ujung jari tersebut ke atas meja,
tapi tidak, dia tidak melakukannya karena rasanya amat sangat lezat.
Rasanya
merupakan campuran dari berbagai macam rasa; rasa manis, rasa asin, rasa lezat…
…dan
tidak ada lagi… tidak ada lagi yang terasa seperti ini sebelumnya.
Kemudian
dia menggigitnya, dan daging tersebut berpindah, menempel di bawah giginya
dengan rasa seperti tekstur karamel; awalnya padat, namun kemudian melunak.
Matanya
masih tertutup, dia mengunyah. Mulutnya dipenuhi liur dan dia berusaha agar
tidak menelannya, kalau dia menelannya, maka ini semua akan berakhir dengan
cepat.
Kemudian
semua itu benar-benar selesai saat potongan terakhirnya turun melalui
tenggorokannya. Ada rasa daging busuk yang bertahan sebentar. Namun itu
tertutupi oleh ledakan aroma bunga yang manis—rasanya seperti kembang gula.
Kemudian
dia berpikir, berpikir di saat-saat terakhir tersebut, bahwa seperti inilah
rasa bunga yang dirasakan oleh lebah yang membuat madu; sari madunya, kemurniannya,
dan terasa manis oleh aromanya.
Dia
menelan bagian akhirnya, kemudian melihat Mr. Aziz.
Ada
air mata turun dari matanya.
“Terima
kasih… ya, Tuhan… terima kasih.”
“Terima
kasih,” Aziz balik tersenyum kepadanya. “Kau tidak tahu betapa bahagianya aku
saat ini.”
Bobby
tidak tahu lagi jam berapa sekarang, dia tidak tahu sudah berapa lama dia duduk
di sana.
“Aku
merasa… tidak ada lagi yang dapat melebihi pengalaman ini. Seolah ini adalah
akhir untukku dan semua makanan manis.”
“Oh,”
Aziz tersenyum, kemudian mengambil kembali kotaknya, lalu menutupnya dan
menaruhnya kembali di dalam saku jaketnya. “Kalau aku jadi kau, aku tidak akan
mengatakan itu.”
***
Pagi
harinya, Bobby terbangun dan merasa aneh.
Dia
duduk di pinggir ranjang sebentar, mencoba mencari tahu apa yang aneh.
Kemudian
dia tersadar; energi aneh yang telah merasukinya selama sebulan terakhir ini
telah lenyap. Sekarang digantikan oleh kekakuan di dalam dirinya seolah
darahnya terlalu kental untuk dapat mengalir di pembuluh darahnya.
Ada
pula sebuah rasa di mulutnya, sebuah rasa yang tidak mengenakkan, terasa
seperti sesuatu yang busuk seolah giginya terinfeksi.
Rasanya
seperti daging mayat yang manis.
Bobby
lalu menyibakkan selimutnya dan berdiri, kemudian pergi ke kamar mandi dan
melihat ke kaca di atas wastafel. Wajahnya menggembung, matanya muram, dia
terlihat seperti orang yang mabuk berat.
Namun
ada sesuatu yang amat sangat salah, mungkin karena pencahayaan di kamar
mandinya.
Kulitnya
berwarna kuning gelap. Bahkan putih matanya berwarna keemasan, telapaknya, kuku
jarinya.
Dengan
menggelengkan kepalanya, dia melangkah ke toilet dan mencoba untuk buang air
kecil.
Hampir
satu menit berlalu. Dia membuka matanya, lalu melihat ke bawah. Dari tadi tidak
ada air yang keluar.
Ada
sesuatu di dalam kandung kemihnya, terasa seperti aliran sebuah cairan.
Kemudian
muncullah rasa perih, perih yang sangat tiba-tiba, sangat kuat sehingga kakinya
berguncang-guncang, lututnya pun menekuk. Perutnya keram, dan dia merasa seolah
mengeluarkan tali yang terbuat dari api.
Dia
berharap melihat darah di toilet, tapi yang dilihatnya bahkan lebih buruk dari
itu.
Dia
berhasil kencing, namun itu bukanlah aliran urin yang biasa dikeluarkannya.
Itu
adalah aliran keemasan kental yang bergerak perlahan seperti sirup.
Dan
rasanya sangat sakit, terlalu kental untuk dapat dikeluarkan.
Cairan
tersebut jatuh ke dalam toilet, lalu melingkar di dasarnya.
Saat
bulir-bulir keringat mulai membasahi dahinya, baunya mulai tercium olehnya;
semerbak bunga, dan manis.
Sambil
bergetar kesakitan dan ketakutan, dia mencolet sebagian dengan jarinya lalu
mengecapnya.
Madu…
dia kencing madu.
Saat
dia tersadar akan hal ini, sebuah gelombang rasa sakit membuncah di perutnya,
membuatnya tersungkur ke lantai toilet yang dingin.
Saat
kesadarannya mulai menurun, dia teringat dengan seribu dolar yang diberikannya
pada Aziz.
Dia
dulu berpikir betapa murah harganya.
***
Toko
permen tersebut belum buka, tapi dia tidak peduli. Dia memarkirkan mobilnya di
perhentian di depan jendela kaca toko tersebut. Sambil mengintip melalui tirai
di balik jendela dia tahu bahwa tokonya sudah kosong dan lampunya padam.
“Aziz!”
teriaknya, sambil memukul-mukul jeruji besi di jendelanya. “Aziz! buka pintunya!”
Orang-orang
yang lewat di sana semua menoleh ke arahnya. Dia tidak sempat berpakaian, jadi
dia masih mengenakan celana pendek dan kaus yang dibawanya tidur semalam.
Haran
dengan mata melebar membuka kunci pintunya.
“Mr.
Jenkins?” tanyanya terkejut. “Ada yang dapat saya…”
“Aziz,”
gumam Bobby. “Ingin bertemu dengannya.”
Dia
menyeret tubuhnya melewati Haran yang kembali menutup pintunya.
Bobby
tersandung-sandung saat melewati ruangannya yang gelap dan menabrak seluruh
pajangan permen.
“Mari,”
kata Haran sambil mengambil lengannya. “Biar saya bantu.”
***
Di
taman, Bobby bergerak secepat mungkin menuju Aziz yang sedang duduk di meja
sambil meminum kopi.
Saat
Bobby mendekat, Aziz melihatnya, sama sekali tidak terkejut melihatnya.
“Atheeth,”
teriak Bobby melalui tenggorokannya yang telah parau dan mengerut. “Apha yhang
thelah khau lhakhukan phadhakhu?”
Mr.
Aziz menyambutnya dengan riang, matanya berbinar-binar seperti saat pertama
kali mereka bertemu.
“Kau
benar-benar orang yang sangat tepat, Mr. Jenkins,” ujarnya. “Kita memang
sejenis.”
Bobby
kini menjadi sulit bernapas, paru-parunya seolah terisi oleh cairan kental.
“Apha?”
“Pembuat
permen dan permennya. Apa… maksudmu kau tidak pernah menyadarinya?”
Bobby
merasakan air mata seperti sirup merembes dari matanya, lalu bergulir di
pipinya. Ketika menyentuh mulutnya, dia tidak terkejut kalau terasa manis.
“Bagian
terakhir manusia permen biasanya digunakan untuk membuat manusia permen yang
baru,” Aziz menjelaskan, dia kemudian berdiri dan mendekatinya. Dia mengambil
tangan Bobby. Tangannya membengkak dan berwarna coklat keemasan.
Bobby
melihat Aziz mengeluarkan belati yang membengkok dengan tajam dari jaketnya.
“Ini
tidak akan sakit… tidak sedikit pun, lihat saja.”
Pisau
itu masuk ke dalam dadanya dengan perlahan dan saat Bobby merasakannya masuk ke
dalam tubuhnya, dia tidak merasa sakit, seperti yang dijanjikan Aziz. Dan dari
luka tersebut keluarlah madu.
Samar-samar
dia melihat Haran membawa kotak kayu, kemudian mereka memasukkannya ke dalam
sana.
“Maaf,
tapi peti kayu ini hanya untuk sementara,” Aziz meminta maaf. “Beberapa hari
setelah perubahannya selesai dan kau telah mati, kami akan menempatkanmu ke
sarkofagus batu, lalu menutupimu dengan madu. Di sanalah kau akan terendam
selama setahun sebelum…”
Aziz
mengulurkan tangannya lalu menyentuh pipinya.
Bobby
merasakan air mata menjalar turun di kedua sisi wajahnya, terbendung di
telinganya.
“Kau
akan menolong banyak orang,” ujarnya, matanya besar, basah, dan terlihat hampir
seperti mengasihani.
Bobby
mencoba mengatakan sesuatu, untuk memohon, tapi tidak ada yang dapat keluar
dari mulutnya sekarang; tidak ada kata-kata; setumpuk madu mengalir sampai ke
bawah dagunya.
Aziz
memberikannya senyuman terakhir. “Kau adalah pelanggan yang manis, Mr. Jenkins,
mungkin yang termanis. Sekarang kau akan menjadi permen termanis yang pernah
kubuat, juga yang paling menakutkan.”
Penutup
petinya menutupi wajah Bobby, dan kegelapan pun menyelimutinya, kegelapan yang
tebal seperti madu.
Sumber :
http://cerpenmancanegara.blogspot.com/
cerpen ini udah tamat atau msh bersambung lg kaks..? :)
ReplyDelete